Link Collider - Best SEO Booster

Thursday, May 22, 2014

Makalah Hadist Mengenai Larangan dalam Jual Beli

kalau ada yang lagi cari makalah atau segala masalah terkait jual beli yang halal ataupun yang haram yang bersumber dari hadist, ini saya share biar semua teman-teman paham.


MAKALAH
Hadits Mengenai Larangan dalam Jual Beli
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hadits-Hadits Ekonomi
Yang di Bimbing Oleh :
Bpk. M. Zakaria Muhctar, M. Hi






Oleh :

Fita Istiqomah
Rinda Afriyanti
Ahmad Khotibul Anam
Ahmad Faqih
Aizzatus Sofa
Anggita Lestari Pamuji
Dina Nur Fadhillah
M. Sholihul Umam
Ni’matul Aliyah

SEMESTER IV
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN EKONOMI SYARI’AH
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
2011 – 2012
KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah yang telah memberikan Nikmat Iman dan Islam serta Nikmat kesehatan sehingga kita masih bisa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala macam larangan-Nya.
            Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW dialah Nabi yang Akhir, yang membawa Pelita kebenaran yakni Agama islam.
            Ucapan terima kasih kami sampaikan karena dengan izin Allah dan bantuan dari berbagai pihak Makalah Kami yang Berjudul “Hadits Mengenai Larangan dalam Jual Beli” dapat terselesaikan dengan tepat waktu dan tak lupa kami ucapakan kepada Bapak/Ibu Dosen Pembimbing yang selalu membimbing jikalau kami menemuhi kesulitan dan tak lupa teman-teman berkat kerja keras kita makalah ini dapat selesai meskipun mungkin masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.

Sidoarjo, 27 April 2013


Penulis





DAFTAR ISI

COVER......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR................................................................................................. 1
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.................................................................................................. 2
B.     Rumusan Masalah............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Definisi Jual Beli............................................................................................... 3     
B.     Larangan dalam Jual Beli............................................................................ 4-25
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan...................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN

 A.     Latar Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Allah SWT berfirman:
Artinya : “Dan Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allahkepadamu(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagai mana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(QS Az Zumar : 39)

Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli. Menurut istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka (lihat QS Az Zumar : 39, At Taubah : 103, hud : 93
Oleh karena pada makalah ini akan dibahas mengenai hadis tentang larangan jual beli.

B.     Rumusan masalah
1. Sebutkan Definisi dari Jual Beli !
2. Jelaskan Larangan- Larangan dari Jual Beli!

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi  jual beli
Secara etimologi, jual beli berarti menukar harta. Sedangkan secara terminogi jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Ada pun pengertian jual beli secara terminologi yang didefenisikan oleh beberapa ulama :
  1.  Menurut ulama Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta atau benda dengan harta berdsarkan cara khusus yang diperbolehkan.
  2.  Menurui Imam Nawawi, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
  3.  Menrut Ibnu Qudamah, jual  beli adalah pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.[1]
Nabi pernah bersabda yakni:

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: ( عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ )  رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ، وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ.
Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih." Riwayat al-Bazzar. Hadits shahih menurut Hakim.([2])

Jual beli itu ada tiga macam, yaitu:
1.      Jual beli benda yang kelihatan, maka hukumnya adalah boleh.
2.      Jual beli benda yang disebutkan sifatnya saja dalam perjanjian, maka hukumnya adalah boleh, jika didapati sifat tersebut sesuai dengan apa yang telah disebutkan.
3.      Jual beli benda yang tidak ada (gaib) serta tidak dapat di lihat,maka tidak boleh
Menjual setiap benda suci yang bisa diambil manfaatnya serta dapat dimiliki adalah sah. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melarang jual beli, yang dilakukan dengan cara yang buruk, mendatangkan madharat (bahaya) bagi orang lain, serta mengambil harta seseorang dengan cara yang bathil. Berikut beberapa transaksi perniagaan atau jula beli yang dilarang. Sedangkan menjual benda yang najis dan benda yang tidak ada manfaatnya adalah tidak sah.([3]) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melarang jual beli, yang dilakukan dengan cara yang buruk, mendatangkan madharat (bahaya) bagi orang lain, serta mengambil harta seseorang dengan cara yang bathil. Berikut beberapa transaksi perniagaan atau jula beli yang dilarang.[4]

B. Larangan-Larangan dalam Jual Beli

1.     Larangan memakan riba.
Riba terbagi dua:
Pertama, riba fadhl, yaitu tambahan pada salah satu dari alat tukar yang sejenis. Contoh: Seseorang membeli dari orang lain 1.000 sha' gandum dengan bayaran 1200 sha' gandum, dan kedua belah pelaku akad melakukan transaksi di majlis akad.
Demikian pula dalam alat tukar sejenis lainnya, yaitu: emas, perak, gandum, sya'ir, kurma, dan garam. Diqiaskan pula barang-barang yang sama 'illatnya, yaitu sama-sama dipakai alat pembayaran pada emas dan perak, dan sama-sama ditakar dan ditimbang pada selain emas dan perak.
Kedua, riba Nasi'ah. Yaitu tambahan pada salah satu dari dua alat tukar sebagai ganti terhadap penundaan bayaran, atau terlambatnya serah terima pada jual beli barang yang sejenis yang sama 'ilatnya pada riba fadhl, dimana salah satunya tidak kontan.
Contoh: Seseorang menjual 1000 sha' gandum dengan bayaran 1200 gandum untuk waktu setahun, sehingga tambahan sebagai ganti perpanjangan waktu, atau menjual satu kilo sya'ir dengan satu kilo bur, namun tidak langsung serah terima. Contoh riba nasi'ah juga adalah seseorang meminjam uang kepada orang lain 5000 rupiah, lalu meminta dikembalikan 5000 lebih. Lebihnya inilah riba.
2. Jika akad jual beli itu menyulitkan ibadah, misalnya mengambil waktu shalat.
Seorang pedagang sibuk dengan jual beli sampai terlambat melakukan shalat jama’ah di masjid, baik tertinggal seluruh shalat atau masbuq. Berniaga yang sampai melalaikan seperti ini dilarang. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah di tunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al Munafiqun:9)
3. Pengharaman Menjual Buah yang Masih di Pohon
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ اَلْمُحَاقَلَةِ, وَالْمُزَابَنَ وَالْمُخَابَرَةِ, وَعَنْ اَلثُّنْيَا, إِلَّا أَنْ تُعْلَمَ )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اِبْنَ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah (menjual biji atau tanaman dengan borongan yang masih samar ukurannya), muzabanah (menjual buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan sukatan), mukhobarah (menyewakan tanah untuk ditanami tumbuhan dengan syarat si pemilik tanah mendapat keuntungan setengah atau lebih dari hasilnya), dan tsunaya (penjualan dengan memakai pengecualian), kecuali jika ia jelas. Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Tirmidzi. [5]
LM: 982
حد يث عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ رضلى الله عنه  اَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم  نَهى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدِ وَ صَلَا حُهَا، نَهى الْبَا ءِـعَ وَ الْمُبْتَا عَ أخر جه البخا رى فى       كتاب البيوع     باب بيع الثمار قبل أن يبدو صلا حها
Artinya:
Abbdullah bin Umar r.a. berkata: Nabi SAW melarang menjual buah di pohon sehingga terlihat baiknya, Nabi SAW melarang yang jual dan yang membeli ( Buchari Muslim)
Sababul Wurud
            Diriwayatkan oleh Ahmad dan Albuchari dari Zaid bin Tsabit, ia berkata: Rasulullah SAW tiba di Madinah, sedang (kebiasaan) kami adalah saling menjual buah-buahan sebelum tampak kelayakannya, hingga Rasulullah SAW mendengar ada suara orang bertengkar. Beliau berkata “ada apa ini?” lalu dilaporkan pada beliau : mereka membeli buah-buahan, mereka berkata buah-buahan itu terkena ad-daman (buahnya membusuk) dan At-tasyam (berguguran). Rasulullah SAW bersabda: janganlah kalian saling menjualnya sehingga tampak kelayakannya.[6]
4.                  Larangan Jual Beli Secara Gharar
            Larangan berjual beli yang mengandung jahalah (ketidakjelasan), mengandung gharar (yang luarnya menipu pembeli, sedangkan bagian dalamnya majhul/tidak jelas), dan tipuan
Hadits
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ, فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا, فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا , فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ اَلطَّعَامِ? قَالَ: أَصَابَتْهُ اَلسَّمَاءُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. فَقَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ اَلطَّعَامِ; كَيْ يَرَاهُ اَلنَّاسُ? مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan jari-jarinya basah. Maka beliau bertanya: "Apa ini wahai penjual makanan?". Ia menjawab: Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka ia bukan termasuk golonganku." Riwayat Muslim[7]

وَعَنِ اِبْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَشْتَرُوا اَلسَّمَكَ فِي اَلْمَاءِ; فَإِنَّهُ غَرَرٌ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَشَارَ إِلَى أَنَّ اَلصَّوَابَ وَقْفُهُ 

Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah SAW. “Janganlah kamu beli ikan yang didalam air karena ia itu gharar”[8]
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ اَلْحَصَاةِ, وَعَنْ بَيْعِ اَلْغَرَرِ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ[9]
          Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara melempar batu dan jual-beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu dan tempatnya). Riwayat Muslim.
           
Terjadi perselisihan pendapat dalam memberikan tafsiran dalam kalimat: “Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara melempar batu.” Ada yang berpendapat, bahwa hal itu contohnya seperti seseorang mengatakan: “Aku menjual kepadamu diantara pakaian-pakaian ini, mana yang terkena lemparan batu ini, maka itulah yang aku jual.” Atau “Aku jual tanah ini sejauh lemparan batu yang aku lempar.” Ada yang berpendapat, yaitu syarat hak khiyar (memilih) sampai batu dilemparkan. Pendapat terakhir tersebut diperkuat oleh riwayat Al Bazzari dari Hafash bin Ashim, sesungguhnya dia mengatakan: “Yang  dimaksudkan hal itu ialah, apabila batu sudah dilemparkan, maka jual beli itu pun jadi.”
            Yang termasuk jual beli secara gharar ialah seperti menjual ikan yang masih ada di dalam air. Atau menjual burung dalam angkasa. Semuanya adalah termasuk dalam kategori jual beli secara gharar, yang tidak diperbolehkan berdasarkan ijma’.
5.                  Larangan Jual Beli Dengan Cara Muhaqalah, Mukhadharah, Mulamasah, Munabadzah, Dan Muzabanah.
              Larangan menjual buah sampai jelas baiknya dan selamat dari musibah. Jual beli ini disebut dengan jual beli mukhadharah (jual-beli buah yang masih hijau belum jelas baiknya di akhir). Larangan mulamasah dan munabadzah. Mulamasah adalah jual-beli yang dianggap jadi  dengan sentuhan tanpa dilihat terlebih dahulu, sedangkan munazabdzah adalah jual-beli yang dianggap jadi dengan saling lempar-melempar tanpa dilihat terlebih dahulu. Larangan Muhaqalah dan muzabanah. Muhaqalah adalah jual beli gandum yang masih dalam bulirnya dengan gandum yang sudah dibersihkan karena tidak adanya kesamaan. Sedangkan muzabanah adalah membeli buah dengan kurma yang menempel di pohon.
1. Hadits
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ اَلْمُحَاقَلَةِ, وَالْمُخَاضَرَةِ, وَالْمُلَامَسَةِ, وَالْمُنَابَذَةِ, وَالْمُزَابَنَةِ )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Artinya :
Anas berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah. Riwayat Bukhari.[10]
Bersumber dari Jabir: “Sesungguhnya Nabi SAW melarang penjualan muhaqalah (menjual gandum yang masih dalam tangkalnya) dan penjualan muzabanah (menjual secara sukatan, menjual anggur yang masih putik dengan yang sudah kering dengan sukatan) dan penjualan yang pengecualiannya desebut secara samar (kabur, tidak jelas), terkecuali disebutkan dengan jelas.” (HR. An-Nasa’I dan At-Turmudzy)[11]
Hadits ini menyatakan bahwasannya penjualan secara muhaqalah dan muzabanah, dan menjual dengan menyebutkan pengecualian secara samar, tidak sah. Contohnya: seseorang menjual sepetak kebun dan dia mengecualikan sebatang pohon yang terletak di dalamnya dengan tidak secara jelas menentukan pohon yang dikecualikannya. Begitu pula seseorang menjual salah satu rumah dari sekian buah rumahnya (tanpa menentukan secara jelas rumah yang akan dijualnya). Namun jika secara tegas disebutkan pengecualiannya, penjualan tersebut sah.
Asy-Syafi’y berkata: jika pengecualiannya secara tegas disebutkan dalam penjualan, maka penjualannya sah. Jika pengecualiannya disebutkan secara samar, penjualan tersebut tidak sah.
Sebagian ulama berkata: jika pengecualian itu dilakukan dengan meminta jangka waktu tertentu (untuk menentukan mana yang dikecualikan), penjualan seperti itu sah.
Dhahir hadits ini, dengan jelas menerangkan bahwasannya setiap pengecualian yang samar, membatalkan akan jual beli. Hikmahnya adalah untuk menghindari adanya unsur penipuan dengan pengecualian secara samar itu.
6.               Larangan Tallaqi Rukban Dalam Jual Beli
            Larangan melakukan talaqqir rukban, yaitu menjumpai (dengan membeli barang dagangan) milik orang yang datang dari luar daerah yang membawa barang-barang dagangan, padahal mereka belum tiba di daerah tersebut dan belum mengenal harga pasar, sehingga mereka dirugikan karena barang dagangan mereka dibeli dengan harga yang rendah. Jika sudah terjadi jual beli ini, maka dianggap sah namun penjual (orang yang datang dari luar daerah) berhak khiyar (meneruskan atau membatalkan jual beli).[12]
 َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَلَقَّوا اَلْجَلَبَ، فَمَنْ تُلُقِّيَ فَاشْتُرِيَ مِنْهُ, فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ اَلسُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya :  
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menghadang barang dagangan dari luar kota. Barangsiapa di hadang, kemudian sebagian barangnya dibeli, maka jika pemilik barang telah datang ke pasar, ia boleh memilih (antara membatalkan atau tidak).” Riwayat Muslim.[13] 
Ibnu Mas’ud r.a menerangkan: “Nabi SAW, melarang kita menunggu barang dagangan diluar pasar.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Jumhur ulama mengatakan bahwa menunggu barang dagangan diluar pasar (dipinggir kota) tidak boleh. Mereka ada yang mengharamkan perbuatan itu dan ada pula yang memakruhkan.
Abu hanifah membolehkan. Namun didalam kitab-kitab Hanafiah, perbuatan tersebut dimakruhkan. Pendapat Abu Hanifah ini adalah menurut Ibnul Munzir. Tentang kemakruhannya jika hal itu menimbulkan kemudaratan bagi penduduk kota serta mengaburkan harga pasar kepada para pembeli.[14]
Sebagian ulama Malikiah dan Hanbaliah, tidak mensahkan transaksi ini. Setiap larangan memerlukan alasan tentang dasar hukumnya (bahwa yang dilarang adalah setiap perbuatan yang tidak sah).
            Para ulama berselisih pula tentang hak membatalkan transaksi (hak khiyar). Menurut paham hanbaliah, si penjual punya hak penuh untuk membatalkan, walaupun tidak ada unsur penipuan dalam transaksi tersebut. Inilah yang dipandang lebih shahih oleh golongan Syafi’iah. Menurut Malik, tidak sah jika menimbulkan kerugian bagi pihak penjual, dan menguntungkan si pembeli. Ulama Kufah dan Al Auza’y, condong kepada pendapat ini.
            Sebagian ulama mengatakan, bahwa yang haram adalah jika si penunggu barang sengaja melakukannya. Jika dia hanya kebetulan lewat, dan berjumpa dengan pembawa barang yang kemudian terjadi transaksi jual beli, tidak diharamkan.
Al Juwaini mengharamkan, jika pembelian itu jauh lebih rendah dari harga pasar.
Menurut Al-Muntawalli diharamkan, jika si pembeli memperoleh harga murah dengan jalan penipu, misalnya menakut-nakuti dengan mengatakan bahwa dia akan memerlukan ongkos besar jika menjualnya sendiri di pasar, ataupun mengatakan bahwa preman pasar akan memungut retribusi di luar peraturan resmi.
7.      Haram Menjual Anaknya Binatang Yang Masih Dalam Kandungan
       Larangan bai'un nataj, yaitu melakukan akad jual-beli terhadap hewan yang masih dalam kandungan induknya.
وَعَنْهُ; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ اَلْحَبَلَةِ, وَكَانَ بَيْعاً يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ: كَانَ اَلرَّجُلُ يَبْتَاعُ اَلْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ اَلنَّاقَةُ, ثُمَّ تُنْتَجُ اَلَّتِي فِي بَطْنِهَا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
Artinya:
            Abdullah bin Umar R . a berkata: Rasulullah saw melarang menjual anaknya binatang yang masih dalam kandungan. Yaitu penjualan yang berlaku di masa jahiliyah, seorang membeli unta sehingga lahir yang di dalam kandungannya kemudian sampai beranak binatang yang telah lahir itu. (Bukhari, Muslim)[15]
وَعَنْهُ قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ, وَلَا تَنَاجَشُوا, وَلَا يَبِيعُ اَلرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ, وَلَا يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ, وَلَا تُسْأَلُ اَلْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِمُسْلِمٍ: ( لَا يَسُمِ اَلْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ اَلْمُسْلِمِ )
            Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli anak hewan dalam kandungan dan mani ternak jantan. Riwayat al-Bazzar dengan sanad lemah[16]
8.               Larangan Memperdagangkan Benda Najis, Maksiat, dan Tidak Bermanfaat (serta larangan atas harga kucing dan anjing)
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ, وَهُوَ بِمَكَّةَ: ( إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ, وَالْمَيْتَةِ, وَالْخِنْزِيرِ, وَالْأَصْنَام فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَرَأَيْتَ شُحُومَ اَلْمَيْتَةِ, فَإِنَّهُ تُطْلَى بِهَا اَلسُّفُنُ, وَتُدْهَنُ بِهَا اَلْجُلُودُ, وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا اَلنَّاسُ? فَقَالَ: لَا هُوَ حَرَامٌ , ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ ذَلِكَ: قَاتَلَ اَللَّهُ اَلْيَهُودَ, إِنَّ اَللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ, ثُمَّ بَاعُوهُ, فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Atha’ ibn Abi Rabbah menerangkan:
“Bahwasannya Jabir r.a. mendengar Nabi SAW, bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi dan patung-patung (berhala). Seorang berkata: Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai? Lemak itu biasanya digunakan untuk mencat perahu, untuk menggosok kulit dan dijadikan penerang oleh manusia? Maka beliau menjawab: Tidak boleh, itu haram. Kemudian beliau bersabda: Semoga orang-orang Yahudi itu dikutuk Allah, sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemaknya, mereka sama menghancurkannya, kemudian mereka menjualnya dan memakan uangnya.” (HR. Jama’ah)[17]
            Yang dimaksud dengan kalimat “bangkai” dalam hadits tersebut ialah binatang yang sudah kehilangan nyawanya, namun tidak lewat penyembelihan yang diakui oleh agama, kecuali bangkai ikan dan belalang.
            Kalimat “babi” ini merupakan dalil atas diharamkannya menjual binatang tersebut dengan semua bagaian-bagiannya. Hal itu adalah berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para ulama. Menurut madzhab Maliki yang mengatakan, bahwa ada kemurahan terhadap rambut binatang tersebut yang tidak seberapa. Motiv diharamkannya menjual babi dan juga menjual bangkai ialah adanya unsur najis, demikian menurut pendapat jumhur ulama dan itu berlaku bagi setiap yang najis. Tetapi pendapat Imam Malik yang masyhur mengatakan, bahwa babi itu suci.
            Adapun mengenai diharamkannya menjual patung-patung berhala ialah, karena benda tersebut tidak adanya manfaat yang diperbolehkan. Jadi apabila benda tersebut bisa dimanfaatkan sesudah dipecah atau dihancurkan, maka menurut sebagian ulama hal itu boleh dijual. Namun mayoritas ulama tetap melarang atau mengharamkannya
وَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ ثَمَنِ اَلْكَلْبِ, وَمَهْرِ الْبَغِيِّ, وَحُلْوَانِ اَلْكَاهِنِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه
          Dari Abu Mas'ud al-Anshory Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengambil uang penjualan anjing, uang pelacuran, dan upah pertenungan. Muttafaq Alaihi.[18]
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ, عَنْ أَبِيهِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ حَبَسَ اَلْعِنَبَ أَيَّامَ اَلْقِطَافِ, حَتَّى يَبِيعَهُ مِمَّنْ يَتَّخِذُهُ خَمْراً, فَقَدَ تَقَحَّمَ اَلنَّارَ عَلَى بَصِيرَةٍ ) رَوَاهُ اَلطَّبَرَانِيُّ فِي اَلْأَوْسَطِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Dari Abdullah Ibnu Buraidah, dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membiarkan anggurnya pada musim panen untuk dijual kepada orang-orang yang membuat minuman keras, maka sesungguhnya ia telah menempuh api neraka dengan sengaja." Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath dengan sanad Hasan.[19]
Anas ibnu Malik r.a berkata: “Rasulullah SAW telah mengutuk sepuluh perkara terhadap arak: yang memerasnya, yang menyuruh memerasnya, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan kepadanya, yang membeli minumannya, yang menjualnya, yang makan harganya dan membelinya dan yang dibelikan untuknya.” (HR. At-Turmudzy dan Ibnu Majah)
Al-Madju Ibnu Taimiyah berdalil dengan hadits ini, bahwa menjual perasan anggur kepada orang yang akan menjadikannya arak dan menjual sesuatu yang membantu perbuatan maksiat, haram.
Perbuatan-perbuatan ini diharamkan jika memang kita ketahui benar, bahwa apa yang kita jual itu untuk dijadikan arak. Jika tidak diketahui bahwa yang kita jual akan dijadikan arak, maka sebagian ulama membolehkan walaupun makruh.
وَعَنْهُ; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ اَلْوَلَاءِ, وَعَنْ هِبَتِهِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه
          Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual-belikan wala' dan menghadiahkannya. Muttafaq Alaihi. [20]
وَعَنْ أَبِي اَلزُّبَيْرِ قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ اَلسِّنَّوْرِ وَالْكَلْبِ? فَقَالَ: ( زَجَرَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَزَادَ: ( إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ )
          Abu al-Zubair berkata: Aku bertanya Jabir Radliyallaahu 'anhu tentang harga kucing dan anjing. Ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang hal itu. Riwayat Muslim dan Nasa'i dengan tambahan: Kecuali anjing pemburu[21]

9.               Larangan Menjual Air yang Lebih dari Keperluan Sendiri
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( نَهَى اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ فَضْلِ اَلْمَاءِ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: ( وَعَنْ بَيْعِ ضِرَابِ اَلْجَمَلِ )
            Jabir Ibnu Abdullah berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual sisa kelebihan air. Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayat ia menambahkan: Dan mengupahkan persetubuhan unta jantan[22]
Air laut, air sungai, dan semisalnya adalah hak bersama manusia. Dalam hadits disebutkan, bahwa manusia berserikat dalam hal tiga; dalam hal air, rumput, dan api (HR. Ahmad dan Abu Dawud, Shahihul Jami' no: 6713) akan tetapi, apabila seseorang mengumpulkannya, atau menggali sumur pada tanah miliknya, atau menyiapkan alat untuk menyedot air, maka air itu menjadi miliknya, dan dalam keadaan seperti ini boleh baginya menjual air itu meskipun lebih utama adalah memberikannya secara cuma-cuma. Sama seperti ini adalah kayu bakar, jika seseorang mengumpulkannya, maka kayu-kayu itu boleh ia jual.[23]
Iyas Ibn ‘Abad menerangkan:
“Bahwasannya Nabi SAW, melarang kita menjual air yang lebih dari keperluan kita”. (HR. Ahmad dan Abu Daud, An-Nasa’I, Ibnu Majah, At-Turmudzy)[24]
            Menurut Al Qusyairi, hadits iyas tersebut atas syarat Imam Al Bukhari dan Imam Muslim. Hadits ini memberikan petunjuk diharamkannya menjual kelebihan air, yakni kelebihan dari keperluan yang bersangkutan. Menurut lahiriahnya hadits, dalam hal ini tidak ada bedanya apakah air yang berada di tanah hak milik, atau air untuk minum maupun untuk keperluan lainny.
            Menurut Al Khithabi, secara lahiriyah yang terkandung dalam larangan hadits tersebut ialah kelebihan air minum, itu yang lekas dipahami oleh orang.
            An Nawawi menceritakan pendapat beberapa orang sahabat Imam Syafi’i yang mengatakan, bahwa wajib menyumbangkan air yang berada di tanah lapang dengan beberapa syarat sebagai berikut:
v  Tidak ditemukannya sumber air yang lain buat memenuhi kebutuhan
v  Sumbangan air tersebut diperuntukkan buat hewan ternak
v  Pemiliknya sudah tidak memerlukan air.
          Yang diperbolehkan menjual air, apabila air yang sudah ditempatkan dalam bejana tertentu, kemudian air semacam aqua dan lain-lain yang sudah di kemas. Air seperti itu boleh dijual[25]
10.           Larangan Menjual Barang Dengan Cara Najasyi
وَعَنْهُ قَالَ: ( نَهَى صلى الله عليه وسلم عَنِ النَّجْشِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang berjualan dengan najasy (memuji barang dagangan secara berlebihan). Muttafaq Alaihi.[26]
            Bersumber dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Nabi SAW, melarang penduduk kota menjual barang yang dititipkan padanya oleh penduduk desa, dan menjual dengan cara najasyi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
            Menurut istilah syara’, najasyi ialah tidakan seorang pedagang yang sengaja menyuruh orang lain agar memuji barang dagangannya atau menawarnya dengan harga tawaran yang cukup tinggi, dengan maksud agar orang lain tertarik ikut-ikutan membelinya karena dia merasa harganya tidak mahal.
            Imam Syafi’i mengatakan: “Najasyi ialah seseorang menawar suatu barang padahal tidak bermaksud membelinya. Melainkan dia hanya bermaksud agar orang lain ikut menawarnya, kemudian orang lain itu membelinya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga yang semestinya.”
11.            Larangan Orang Kota Menjual Sesuatu Kepunyaan Orang Desa
وَعَنْهُ قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ, وَلَا تَنَاجَشُوا, وَلَا يَبِيعُ اَلرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ, وَلَا يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ, وَلَا تُسْأَلُ اَلْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِمُسْلِمٍ: ( لَا يَسُمِ اَلْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ اَلْمُسْلِمِ )
Ibnu Umar r.a berkata: “Nabi SAW, melarang penduduk kota menjual sesuatu barang yang dititipkan kepadanya oleh orang desa.” (HR. Al-Bukhary dan An-Nasai’i)
وَعَنْ طَاوُسٍ, عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَلَقَّوْا اَلرُّكْبَانَ, وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: مَا قَوْلُهُ:  وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ? قَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
Dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah engkau menghadang kafilah di tengah perjalanan (untuk membeli barang dagangannya), dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa." Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa maksud sabda beliau "Janganlah orang kita menjual kepada orang desa?". Ibnu Abbas menjawab: Janganlah menjadi makelar (perantara). Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari. [27]
            Hadits ini menunjukkan tidak dibolehkannya orang kota menjual barang orang desa, tanpa ada perbedaan antara orang-orang yang berkerabat ataupun bukan, baik dimasa mahal ataupun dimasa murah. Baik barang yang diperlukan oleh penduduk kota ataupun tidak, baik dijual secara diangsur atau tunai.
            Golongan hanafiyah berpendapat, bahwasannya larangan ini khusus di zaman mahal dan khusus pula dengan barang-barang yang dibutuhkan penduduk kota.
Menurut Syafi’iah dan Hambalilah, bahwa yang dilarang itu, ialah seorang penduduk desa datang ke kota membawa barang dengan maksud penjualannya dengan harga hari itu. Seorang penduduk kota (pasar) mengatakan: “letakanlah barang ini padaku, akan kujual berangsur-angsur dengan harga yang lebih mahal dari harga hari ini.” Dan dikaitkan dengan orang desa, ialah mereka yang tidak mengetahui harga pasar.
12.              Larangan Menjual Atas Penjualan Orang Lain, Menawar Atas Tawaran Orang Lain, Terkecuali Penjualan Secara Lelang
Ibnu Umar r.a menerangkan: “Janganlah kamu menjual atas penjualan saudaranya, dan jangan meminang atas pinangan saudaranya, terkecuali kalau sudah ada izin.” (HR. Ahmad)
Menawarkan barang atas penawaran orang lain, adalah bila seseorang mengatakan kepada si pembeli: Kembalikan barang tersebut, anda dapat membeli dari saya dengan harga yang lebih murah, atau akan mendapatkan barang dengan kualitas yang lebih baik. Atau bisa juga: Minta kembali barang tersebut, saya akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Kedua macam jenis transaksi di atas haram, jika antara para pihak sebelumnya telah terjadi kesepakatan harga.[28]
13. Larangan Menerima Bayaran Untuk Hewan Pejantan
Ibnu Umar r.a menerangkan:
“Nabi SAW melarang kita menerima harga mani (sperma) hewan pejantan (landuk)”. (HR. Ahmad, Al-Bukhary, An Nasa’I)
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ عَسْبِ اَلْفَحْلِ )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah S[29]hallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengupahkan persetubuhan binatang jantan. Riwayat Bukhari.

            Hadits ini mengemukakan, bahwa sesungguhnya menjual air (mani) pejantan dan juga menyewakannya itu hukumnya haram, soalnya ia tidak bisa dinilai, tidak bisa diketahui dan tidak kuasa untuk diserahkan. Itulah pendapat jumhur dan juga pendapat ulama-ulama dari kalangan madzha Syafi’i dan madzhab Hambali. Sedangkan Al Hasan dan Ibnu Sirin yang mengutip pendapat Imam Malik mengatakan, bahwa sesungguhnya boleh menyewakan pejantan untuk bersetubuh dalam jangka waktu tertentu.
14.           Jual Beli Tanpa Menghadirkan Saksi
وَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( إِذَا اِخْتَلَفَ اَلْمُتَبَايِعَانِ لَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ, فَالْقَوْلُ مَا يَقُولُ رَبُّ اَلسِّلْعَةِ أَوْ يَتَتَارَكَانِ )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
           Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila dua orang yang berjual beli berselisih, sedang di antara mereka tidak ada keterangan yang jelas, maka perkataan yang benar ialah apa yang dikatakan oleh pemilik barang atau mereka membatalkan transaksi." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Hakim. [30]
            Syihab Az-Zuhry mengatakan: “Bahwa pamannya menceritakan kepada Amrah (pamannya tersebut adalah sahabat Nabi), bahwa Nabi telah membeli seekor kuda dari Arab Badui (penghuni gurun), Nabi menemuinya untuk membayar harga kuda. Nabi berjalan cepat sedang sang Badui berjalan lambat. Beberapa orang mencegat orang Badui dan menawar kudanya. Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi telah membelinya. Karena itu sang badui memanggil Nabi dan berkata: Jika anda jadi membeli kuda ini, bayarlah, jika tidak aku akan menjualnya kepada orang lain. Kala mendengar ucapan badui tersebut, Nabi mengatakan: Bukankah kuda ini sudah saya beli? Badui menjawab: tidak. Demi Allah saya tidak menjualnya kepada anda. Nabi berkata: aku benar-benar telah membelinya. Sang Badui menjawab: Ajukanlah saksi. Khuzaimah berkata: Sayalah sakinya, bahwa engkau telah menjualnya kepada Rasulullah. Mendengar itu Nabi mengatakan kepada Khuzaimah: dengan cara apa engkau menjadi saksi? Khuzaimah menjawab: karena aku membenarkan anda, ya Rasulullah. Nabi menjadikan kesaksian Khuzaimah sebagai saksi yang dilakukan oleh dua orang.” (HR. Ahmad, An-Nasa’I, dan Abu Daud)
            Yang dimaksud saksi ialah seperti yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an: “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.” Namun perintah tersebut tidak berkonotasi wajib, melainkan sunnah.
Ada yang berpendapat, bahwa atay tersebut sudah dinaskh (dibatalkan) oleh firman Allah ta’ala: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagia yang lain.” Ada pula yang berpendapat, bahwa ayat tersebut tetap berlaku dan tidak dinaskh.
Asy-Syafi’y berkata: jika kehadiran saksi diperlukan pada saat transaksi jual beli tentulah Rasulullah tidak akan membeli sesuatu dari seseorang tanpa ada saksi. Karenanya, perintah Allah agar setiap perbuatan harus disaksikan oleh orang ketiga, merupakan perintah sunat. Dengan perbuatan Nabi diatas, maka hukum wajib sudah dipalingkan menjadi hukum sunat.
            Kata Ath-Thabarany, tidak halal bagi seseorang Muslim mengadakan transaksi jual beli, tanpa ada saksi, karena menyalahi kitabullah.
Namun menurut Ibnu Araby, seluruh ulama sepakat bahwa kehadiran saksi bersifat sunat.[31]
15.           Larangan Menjual Barang Sebelum Ditimbang Kembali
وَعَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنِ اِشْتَرَى طَعَاماً فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَكْتَالَهُ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Jabir ibnu Abdullah berkata: “Nabi SAW, melarang kita menjual makanan sebelum disukat (ditimbang) dua kali. Sukatan penjual dan sukatan pembeli.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni)[32]
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang membeli makanan dan telah disukat, kemudian barang tersebut akan dijual kepada orang lain, maka hendaklah barang tersebut disukatnya kembali, tidak boleh dicukupkan dengan sukatan pertama.
16.              Larangan Penjualan Secara ‘Arbun
وَعَنْهُ قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ اَلْعُرْبَانِ )  رَوَاهُ مَالِكٌ, قَالَ: بَلَغَنِي عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, بِهِ
            Amar ibnu Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Nabi SAW, melarang penjualan dengan lebih dahulu memberikan uang muka dan uang itu hilang, kalau pembelian tidak diteruskan. (HR. Ahmad, An-Nasa’I, dan Abu Daud)[33]
Penjualan yang menyertai ‘arbun, ialah seseorang pembeli atau penyewa mengatakan: “Saya berikan lebih dahulu uang muka kepada anda. Jika pembelian ini tidak jadi saya teruskan, maka uang muka itu hilang, dan menjadi milik anda. Jika barang itu jadi dibeli maka uang muka itu.
   17. Dua Bentuk Penjualan Dalam Satu Penjualan
وَعَنْهُ قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ وَلِأَبِي دَاوُدَ: ( مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوَكَسُهُمَا, أَوْ اَلرِّبَا )
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang dua jual-beli dalam satu transaksi jual-beli. Riwayat Ahmad dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Tirmidzi.
Menurut riwayat Abu Dawud: Barangsiapa melakukan dua jual-beli dalam satu transaksi, maka baginya harga yang murah atau ia termasuk riba'[34]
Abu Hurairah r.a berkata: “Barang siapa menjual dua penjualan dalam satu penjualan maka baginya pembayaran yang kurang atau riba.” (HR. Abu Daud)
Imam Asy-Syfi’I mencontohkan penjualan ini sebagai berikut:
Si penjual menawarkan kepada pembeli, dengan harga Rp. 1.000,- tunai, ataupun menjadi Rp. 2.000,- jika secara berhutang. Terserah kepada si pembeli untuk memilih.
Kemudian ada yang menafsirkan begini, si penjual menawarkan seorang budak dengan harga tertentu, dengan syarat si pembeli menjual rumahnya kepadanya. Bila syarat ini diterima, maka transaksi berlangsung.
diperhitungkan dari harga yang belum dibayar.
Menurut Atha’, boleh dijual dengan sukatan pertama, jika dijual dengan harga tunai. Namun jika dijual secara hutang, harus disukat kembali.
            Dhahir hadits ini menguatkan mazhab jumhur, yakni tidak ada perbedaan antara penjualan tunai dengan penjualan hutang. Dan hal ini tidak berlaku mengenai barang makanan yang dibeli secara bertumpuk.
18.           Larangan Jual Beli Dimana Barang dan Pembayarannya Adalah Secara Tidak Tunai
وَعَنْ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ, وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ, وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَالْحَاكِمُ.
          Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak dihalalkan meminjam dan menjual, dua syarat dalam satu transaksi jual-beli, keuntungan yang belum dapat dijamin, dan menjual sesuatu yang tidak engkau miliki." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim.[35]
            Bersumber dari Ibnu Umar r.a: “Sesungguhnya Nabi SAW melarang menjual (barang yang belum ada) dengan pembayaran yang tidak tunai.” (HR. Imam Daruquthni)
            Kalimat “menjual (barang yang belum ada) dengan pembayaran yang tidak tunai” ini, kalau dalam riwayat yang diketengahkan oleh Imam hakim dari Abu Al Walid Hassan berbunyi “menjual sesuatu yang tidak kontan dengan cara pembayaran yang tidak kontan pula”. Demikianlah yang dikutip oleh Abu Ubaidah dan Imam Daruquthni dari ahli bahasa. Sedangkan kalimat yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Nafi’ berbunyi: “menjual hutang dengan hutang.”
            Yang terang, hadits tersebut menunjukkan ketidak bolehan menjual barang secara pinjaman dengan pembayaran secara pinjaman pula. Hal itu adalah berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’), sebagaimana yang diceritakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Sama dengan hal tersebut adalah akad jual beli barang yang belum ada dengan pembayaran yang tidak tunai.[36]
19.           Larangan Menjual Barang yang Belum Dimiliki / Belum Jelas
وَعَنِ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ شِرَاءِ مَا فِي بُطُونِ اَلْأَنْعَامِ حَتَّى تَضَعَ, وَعَنْ بَيْعِ مَا فِي ضُرُوعِهَا, وَعَنْ شِرَاءِ اَلْعَبْدِ وَهُوَ آبِقٌ, وَعَنْ شِرَاءِ اَلْمَغَانِمِ حَتَّى تُقْسَمَ, وَعَنْ شِرَاءِ اَلصَّدَقَاتِ حَتَّى تُقْبَضَ, وَعَنْ ضَرْبَةِ اَلْغَائِصِ )  رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ, وَالْبَزَّارُ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيف
            Dari Abu Said al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang melakukan jual-beli anak yang masih berada dalam kandungan hewan sebelum dilahirkan, susu yang masih berada dalam teteknya, seorang hamba yang melarikan diri, harta rampasan yang belum dibagi, zakat yang belum diterima, da n hasil seorang penyelam. Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar. Daruquthni juga meriwayatkan dengan sanad lemah.[37]
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ تُبَاعَ ثَمَرَةٌ حَتَّى تُطْعَمَ, وَلَا يُبَاعَ صُوفٌ عَلَى ظَهْرٍ, وَلَا لَبَنٌ فِي ضَرْعٍ )  رَوَاهُ اَلطَّبَرَانِيُّ فِي اَلْأَوْسَطِ وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ وَأَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي اَلْمَرَاسِيلِ لِعِكْرِمَةَ, وَهُوَ اَلرَّاجِحُ. وَأَخْرَجَهُ أَيْضاً مَوْقُوفاً عَلَى اِبْنِ عَبَّاسٍ بِإِسْنَادٍ قَوِيٍّ, وَرَجَّحَهُ اَلْبَيْهَقِيُّ
          Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan hingga masak, bulu yang masih melekat di punggung (hewan hidup), dan susu dalam tetek. Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath. dan Daruquthni. Abu Dawud meriwayatkan dalam hadits-hadits mursal ikrimah, ia juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad kuat yang diperkuat oleh Baihaqi. [38]
          Hakim ibn Hizam r.a berkata: “Saya berkata: Ya Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku, meminta aku menjual barang yang belum ada padaku. Kemudian baru aku membelinya di pasar. Nabi SAW bersabda: “Jangan engkau jual apa yang tidak ada pada engkau.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, At-Turmudzy, dan Ibnu Majah)
            Hadits ini masuk kedalam makna: menjual benda yang belum ada pada kita, ialah menjual burung yang terlepas dari sangkar, yang lazimnya tidak kembali kesangkarnya. Jika dia biasa kembali pada malam hari, maka menurut jumhur ulama tidak sah juga, terkecuali lebah yang di pandang boleh oleh An-Nawawi.
20. Larangan mengadakan dua syarat dalam jual beli.
       Contoh: Seseorang penjual mensyaratkan kepada pembeli agar tidak menjual barangnya dan tidak menghibahkannya.
وَأَخْرَجَهُ فِي عُلُومِ اَلْحَدِيثِ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي حَنِيفَةَ, عَنْ عَمْرٍو اَلْمَذْكُورِ بِلَفْظِ: نَهَى عَنْ بَيْعٍ وَشَرْطٍ وَمِنْ هَذَا اَلْوَجْهِ أَخْرَجَهُ اَلطَّبَرَانِيُّ فِي اَلْأَوْسَطِ وَهُوَ غَرِيبٌ
          Hadits tersebut juga dikeluarkan dari kitab Ulumul Hadits riwayat Abu Hanifah dari 'Amr dengan lafaz: "Rasulallah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melarang berjual-beli dengan syarat." Dari jalur ini Thabrani meriwayatkan hadts ini dalam kitab al-Ausath dan ia termasuk hadits gharib.[39]
21.  Larangan menimbun barang ketika orang-orang sedang membutuhkan.
وَعَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ
          Dari Ma'mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan menimbun (barang) kecuali orang yang berdosa." Riwayat Muslim. [40]
22.           Larangan Menjual Barang di Tempat Kita Membeli
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( اِبْتَعْتُ زَيْتاً فِي اَلسُّوقِ, فَلَمَّا اِسْتَوْجَبْتُهُ لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحاً حَسَناً، فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِ اَلرَّجُلِ، فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي، فَالْتَفَتُّ, فَإِذَا هُوَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ, فَقَالَ: لَا تَبِعْهُ حَيْثُ اِبْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ; فَإِنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى أَنْ تُبَاعَ اَلسِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ, حَتَّى يَحُوزَهَا اَلتُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
          Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku pernah membeli minyak di pasar dan ketika minyak itu telah menjadi hak milikku aku bertemu dengan seseorang yang akan membelinya dengan keuntungan yang baik. Ketika aku hendak mengiyakan tawaran orang tersebut, ada seseorang dari belakang yang memegang lenganku. Aku berpaling dan ternyata ia adalah Zaid Ibnu Tsabit. Lalu ia berkata: Jangan menjualnya di tempat engkau membeli, sampai engkau membawanya ke tempatmu, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual barang di tempat barang itu dibeli sampai para pedagang membawanya ke tempat mereka. Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadz menurutnya. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. [41]
Selain dari itu nabi juga melarang umatnya untuk:
Mengurangi takaran dan timbangan.
Mengambil  ribh maa lam yadhman (keuntungan yang muncul dari barang yang bukan miliknya). Ini termasuk ghasb.
Larangan melariskan dagangan dengan sumpah palsu.
Larangan melimpah-ruahkan harta dan menyebarkannya ke beberapa tempat yang biasanya membuat seseorang sibuk dan lalai dari mengingat Allah Azza wa Jalla.

BAB III
PENUTUP
A.             Kesimpulan
Penjelasan diatas sangatlah jelas mengenai larangan-larangan dalam jual beli, banyak hadits-hadits yang memuat penjelasan tentang larangan dalam jual beli. Setiap apa yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya tentunya membawa kemaslahatan bagi kehidupan di dunia dan kelak nanti di akhirat, karena di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 7 sudah jelas di sebutkan, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat keras hukumannya.”
Hikmah dan anjuran jual bli
Adapun hikmah dibolehkannya jual-beli itu adalah menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah dengan hartanya. Seseorang memiliki harta di tangannya, namun dia tidak memerlukannya. Sebaliknya dia memerlukan suatu bentuk harta, namun harta yang diperlukannya itu ada ditangan orang lain. Kalau seandainya orang lain yang memiliki harta yang diingininya itu juga memerlukan harta yang ada di tangannya yang tidak diperlukannya itu, maka dapat berlaku usaha tukar menukar yang dalam istilah bahasa Arab disebut jual beli.






DAFTAR PUSTAKA
Ø  Mardani. 2011. Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah. Jakarta: Rajawali Press.
Ø  Mashur khar. 1992. bulughul maram buku pertama. jakarta:PT rineka cipta.
Ø  Syarifuddin amir.2003. Garis Garis Besar Fiqh. jakarta: kencana.
Ø  Adiwarman Karim.2008. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ø  Ibnu Hajar al-Asqolani.2002 Op.cit.Jakarta:Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Ø  Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i.2006
Ø  Yusuf Qaradhawi.2007. Halal dan haram .Bandung: Jabal.
Ø  Abu Syuja’ Ahmad Bin Husein.2004. Matan ghayan wa taqrib. Surabaya: Al-Miftah
Ø  Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994)
Ø  http://abuzubair.wordpress.com/2007/08/10/jual-beli-yang-dilarang-dalam-islam/







[1] Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 455-456.

[2]  Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 601
[3] Syekh Abu Syuja, Ahmad bin Husain, Matnul Ghayah Wat Taqrib hal. 67
[4] http://abuzubair.wordpress.com/2007/08/10/jual-beli-yang-dilarang-dalam-islam/
[5] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 625
[6] Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 120
[7] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 636
[8] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 641
[9] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 616
[10] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 626
[11] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 625
[12] http://wawasankeislaman.blogspot.com/2012/12/beberapa-larangan-dalam-jual-beli.html
[13] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 628
[14] http://abuzubair.wordpress.com/2007/08/10/jual-beli-yang-dilarang-dalam-islam/
[15]  Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 614
[16] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 642
[17] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 601
[18]Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 603
[19] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 637
[20] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 615
[21] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 608
[22] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 612
[23] http://wawasankeislaman.blogspot.com/2012/12/beberapa-larangan-dalam-jual-beli.html
[24] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits
[25] Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 462

[26] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 624
[27] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 627
[28] http://abuzubair.wordpress.com/2007/08/10/jual-beli-yang-dilarang-dalam-islam/
[29] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 613
[30] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 602   
[31] Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 521.
[32] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 617
[33] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 621
[34] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 618
[35] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 619
[36] Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 489.
[37] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 640
[38] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 642
[39] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 620
[40] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 633
[41] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 622

3 comments:

  1. VITAN RADEI BUCKET (TINYL) - Titanium Prices 2021
    VITAN RADEI titanium damascus BUCKET (TINYL) - Manufacturer: Titanium titanium chloride Goods, man titanium bracelet Inc. Type of winnerwell titanium stove Grown Product: Plastic, Steel, Glass, Paper,  Rating: 4.4 · ‎5,488 citizen super titanium armor reviews · ‎$3.99 · ‎In stock

    ReplyDelete