MAKALAH
Hadits
Mengenai Larangan dalam Jual Beli
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
“Hadits-Hadits
Ekonomi”
Yang di Bimbing Oleh :
Bpk.
M. Zakaria Muhctar, M. Hi
Oleh :
Fita Istiqomah
Rinda Afriyanti
Ahmad Khotibul Anam
Ahmad Faqih
Aizzatus Sofa
Anggita Lestari Pamuji
Dina Nur Fadhillah
M. Sholihul Umam
Ni’matul Aliyah
SEMESTER
IV
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
JURUSAN
EKONOMI SYARI’AH
UNIVERSITAS
SUNAN GIRI SURABAYA
2011
– 2012
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan Nikmat Iman dan Islam serta Nikmat kesehatan sehingga kita masih
bisa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala macam larangan-Nya.
Sholawat
serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW dialah Nabi yang
Akhir, yang membawa Pelita kebenaran yakni Agama islam.
Ucapan
terima kasih kami sampaikan karena dengan izin Allah dan bantuan dari berbagai
pihak Makalah Kami yang Berjudul “Hadits
Mengenai Larangan dalam Jual Beli” dapat terselesaikan dengan tepat waktu
dan tak lupa kami ucapakan kepada Bapak/Ibu Dosen Pembimbing yang selalu
membimbing jikalau kami menemuhi kesulitan dan tak lupa teman-teman berkat
kerja keras kita makalah ini dapat selesai meskipun mungkin masih jauh dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Sidoarjo, 27 April 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
COVER.........................................................................................................................
i
DAFTAR
ISI................................................................................................................
ii
KATA
PENGANTAR.................................................................................................
1
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang..................................................................................................
2
B. Rumusan Masalah.............................................................................................
2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Definisi
Jual Beli...............................................................................................
3
B. Larangan dalam Jual Beli............................................................................
4-25
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia
dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu
dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha
mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Allah
SWT berfirman:
Artinya : “Dan Carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allahkepadamu(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatbaiklah (kepada
orang lain) sebagai mana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.”(QS Az Zumar : 39)
Jual beli
dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu
Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli. Menurut istilah
hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas
dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara
dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka (lihat
QS Az Zumar : 39, At Taubah : 103, hud : 93
Oleh
karena pada makalah ini akan dibahas mengenai hadis tentang larangan jual beli.
B. Rumusan
masalah
1.
Sebutkan Definisi dari Jual Beli !
2.
Jelaskan Larangan- Larangan dari Jual Beli!
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
jual beli
Secara
etimologi, jual beli berarti menukar harta. Sedangkan secara terminogi jual
beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Ada pun
pengertian jual beli secara terminologi yang didefenisikan oleh beberapa ulama
:
- Menurut ulama Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta atau benda dengan harta berdsarkan cara khusus yang diperbolehkan.
- Menurui Imam Nawawi, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
- Menrut Ibnu Qudamah, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.[1]
Nabi pernah bersabda yakni:
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه أَنَّ
اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: (
عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ ) رَوَاهُ
اَلْبَزَّارُ، وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ.
Dari Rifa'ah Ibnu Rafi'
bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang
paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan
setiap jual-beli yang bersih." Riwayat al-Bazzar. Hadits shahih menurut
Hakim.([2])
Jual beli
itu ada tiga macam, yaitu:
1. Jual beli benda yang kelihatan, maka hukumnya adalah
boleh.
2. Jual beli benda yang disebutkan sifatnya saja dalam
perjanjian, maka hukumnya adalah boleh, jika didapati sifat tersebut sesuai
dengan apa yang telah disebutkan.
3. Jual beli benda yang tidak ada (gaib) serta tidak
dapat di lihat,maka tidak boleh
Menjual setiap benda suci yang bisa diambil
manfaatnya serta dapat dimiliki adalah sah. Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melarang jual beli, yang dilakukan dengan cara yang
buruk, mendatangkan madharat (bahaya) bagi orang lain, serta mengambil harta seseorang
dengan cara yang bathil. Berikut beberapa transaksi perniagaan atau jula beli
yang dilarang. Sedangkan menjual benda
yang najis dan benda yang tidak ada manfaatnya adalah tidak sah.([3])
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melarang jual beli, yang dilakukan
dengan cara yang buruk, mendatangkan madharat (bahaya) bagi orang lain, serta
mengambil harta seseorang dengan cara yang bathil. Berikut beberapa transaksi
perniagaan atau jula beli yang dilarang.[4]
B. Larangan-Larangan dalam Jual Beli
1. Larangan
memakan riba.
Riba
terbagi dua:
Pertama, riba fadhl, yaitu tambahan pada salah satu dari alat tukar
yang sejenis. Contoh: Seseorang membeli dari orang lain 1.000 sha' gandum
dengan bayaran 1200 sha' gandum, dan kedua belah pelaku akad melakukan
transaksi di majlis akad.
Demikian
pula dalam alat tukar sejenis lainnya, yaitu: emas, perak, gandum, sya'ir,
kurma, dan garam. Diqiaskan pula barang-barang yang sama 'illatnya, yaitu
sama-sama dipakai alat pembayaran pada emas dan perak, dan sama-sama ditakar
dan ditimbang pada selain emas dan perak.
Kedua, riba Nasi'ah. Yaitu tambahan pada salah satu dari dua alat
tukar sebagai ganti terhadap penundaan bayaran, atau terlambatnya serah terima
pada jual beli barang yang sejenis yang sama 'ilatnya pada riba fadhl, dimana
salah satunya tidak kontan.
Contoh:
Seseorang menjual 1000 sha' gandum dengan bayaran 1200 gandum untuk waktu
setahun, sehingga tambahan sebagai ganti perpanjangan waktu, atau menjual satu
kilo sya'ir dengan satu kilo bur, namun tidak langsung serah terima. Contoh
riba nasi'ah juga adalah seseorang meminjam uang kepada orang lain 5000 rupiah,
lalu meminta dikembalikan 5000 lebih. Lebihnya inilah riba.
2. Jika akad jual beli itu menyulitkan ibadah, misalnya
mengambil waktu shalat.
Seorang pedagang sibuk dengan jual beli sampai terlambat
melakukan shalat jama’ah di masjid, baik tertinggal seluruh shalat atau masbuq.
Berniaga yang sampai melalaikan seperti ini dilarang. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui. Apabila telah di tunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat
demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al
Munafiqun:9)
3. Pengharaman Menjual Buah yang Masih di Pohon
وَعَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ
صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ اَلْمُحَاقَلَةِ, وَالْمُزَابَنَ وَالْمُخَابَرَةِ,
وَعَنْ اَلثُّنْيَا, إِلَّا أَنْ تُعْلَمَ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا
اِبْنَ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah (menjual biji atau tanaman
dengan borongan yang masih samar ukurannya), muzabanah (menjual buah yang masih
segar dengan yang sudah kering dengan sukatan), mukhobarah (menyewakan tanah
untuk ditanami tumbuhan dengan syarat si pemilik tanah mendapat keuntungan
setengah atau lebih dari hasilnya), dan tsunaya (penjualan dengan memakai
pengecualian), kecuali jika ia jelas. Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah.
Hadits shahih menurut Tirmidzi. [5]
LM: 982
حد يث عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ رضلى
الله عنه
اَنَّ
رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم
نَهى
عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدِ وَ صَلَا حُهَا، نَهى الْبَا ءِـعَ وَ
الْمُبْتَا عَ أخر جه البخا رى فى
كتاب
البيوع
باب
بيع الثمار قبل أن يبدو صلا حها
Artinya:
Abbdullah bin Umar r.a. berkata:
Nabi SAW melarang menjual buah di pohon sehingga terlihat baiknya, Nabi SAW
melarang yang jual dan yang membeli ( Buchari Muslim)
Sababul Wurud
Diriwayatkan
oleh Ahmad dan Albuchari dari Zaid bin Tsabit, ia berkata: Rasulullah SAW tiba
di Madinah, sedang (kebiasaan) kami adalah saling menjual buah-buahan sebelum
tampak kelayakannya, hingga Rasulullah SAW mendengar ada suara orang
bertengkar. Beliau berkata “ada apa ini?” lalu dilaporkan pada beliau : mereka
membeli buah-buahan, mereka berkata buah-buahan itu terkena ad-daman (buahnya
membusuk) dan At-tasyam (berguguran). Rasulullah SAW bersabda: janganlah kalian
saling menjualnya sehingga tampak kelayakannya.[6]
4.
Larangan Jual Beli Secara Gharar
Larangan
berjual beli yang mengandung jahalah (ketidakjelasan), mengandung gharar (yang
luarnya menipu pembeli, sedangkan bagian dalamnya majhul/tidak jelas), dan
tipuan
Hadits
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي
الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ
طَعَامٍ, فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا, فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا , فَقَالَ: مَا
هَذَا يَا صَاحِبَ اَلطَّعَامِ? قَالَ: أَصَابَتْهُ اَلسَّمَاءُ يَا رَسُولَ
اَللَّهِ. فَقَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ اَلطَّعَامِ; كَيْ يَرَاهُ
اَلنَّاسُ? مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan
tersebut dan jari-jarinya basah. Maka beliau bertanya: "Apa ini wahai
penjual makanan?". Ia menjawab: Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau
bersabda: "Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar
orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka ia bukan termasuk
golonganku." Riwayat Muslim[7]
وَعَنِ اِبْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَشْتَرُوا اَلسَّمَكَ فِي
اَلْمَاءِ; فَإِنَّهُ غَرَرٌ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَشَارَ إِلَى أَنَّ اَلصَّوَابَ
وَقْفُهُ
|
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud. Ia berkata : telah
bersabda Rasulullah SAW. “Janganlah kamu beli ikan yang didalam air karena ia
itu gharar”[8]
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: (
نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ اَلْحَصَاةِ, وَعَنْ
بَيْعِ اَلْغَرَرِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ[9]
Abu
Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang jual-beli dengan cara melempar batu dan jual-beli gharar
(yang belum jelas harga, barang, waktu dan tempatnya). Riwayat Muslim.
|
Terjadi perselisihan pendapat dalam
memberikan tafsiran dalam kalimat: “Rasulullah SAW melarang jual beli dengan
cara melempar batu.” Ada yang berpendapat, bahwa hal itu contohnya seperti
seseorang mengatakan: “Aku menjual kepadamu diantara pakaian-pakaian ini, mana
yang terkena lemparan batu ini, maka itulah yang aku jual.” Atau “Aku jual
tanah ini sejauh lemparan batu yang aku lempar.” Ada yang berpendapat, yaitu
syarat hak khiyar (memilih) sampai batu dilemparkan. Pendapat terakhir tersebut
diperkuat oleh riwayat Al Bazzari dari Hafash bin Ashim, sesungguhnya dia
mengatakan: “Yang dimaksudkan hal itu ialah, apabila batu sudah
dilemparkan, maka jual beli itu pun jadi.”
Yang
termasuk jual beli secara gharar ialah seperti menjual ikan yang masih ada di
dalam air. Atau menjual burung dalam angkasa. Semuanya adalah termasuk dalam
kategori jual beli secara gharar, yang tidak diperbolehkan berdasarkan ijma’.
5.
Larangan Jual Beli Dengan Cara
Muhaqalah, Mukhadharah, Mulamasah, Munabadzah, Dan Muzabanah.
Larangan
menjual buah sampai jelas baiknya dan selamat dari musibah. Jual beli ini
disebut dengan jual beli mukhadharah (jual-beli buah yang masih hijau
belum jelas baiknya di akhir). Larangan mulamasah dan munabadzah.
Mulamasah adalah jual-beli yang dianggap jadi dengan sentuhan tanpa dilihat terlebih
dahulu, sedangkan munazabdzah adalah jual-beli yang dianggap jadi dengan
saling lempar-melempar tanpa dilihat terlebih dahulu. Larangan Muhaqalah dan
muzabanah. Muhaqalah adalah jual beli gandum yang masih dalam
bulirnya dengan gandum yang sudah dibersihkan karena tidak adanya kesamaan.
Sedangkan muzabanah adalah membeli buah dengan kurma yang menempel di
pohon.
1. Hadits
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله
عنه قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ اَلْمُحَاقَلَةِ,
وَالْمُخَاضَرَةِ, وَالْمُلَامَسَةِ, وَالْمُنَابَذَةِ, وَالْمُزَابَنَةِ )
رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Artinya :
Anas
berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan
cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum
tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh),
munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah. Riwayat
Bukhari.[10]
Bersumber
dari Jabir: “Sesungguhnya Nabi SAW melarang penjualan muhaqalah (menjual
gandum yang masih dalam tangkalnya) dan penjualan muzabanah (menjual secara
sukatan, menjual anggur yang masih putik dengan yang sudah kering dengan
sukatan) dan penjualan yang pengecualiannya desebut secara samar (kabur, tidak
jelas), terkecuali disebutkan dengan jelas.” (HR. An-Nasa’I dan
At-Turmudzy)[11]
Hadits ini
menyatakan bahwasannya penjualan secara muhaqalah dan muzabanah, dan menjual
dengan menyebutkan pengecualian secara samar, tidak sah. Contohnya: seseorang
menjual sepetak kebun dan dia mengecualikan sebatang pohon yang terletak di
dalamnya dengan tidak secara jelas menentukan pohon yang dikecualikannya.
Begitu pula seseorang menjual salah satu rumah dari sekian buah rumahnya (tanpa
menentukan secara jelas rumah yang akan dijualnya). Namun jika secara tegas
disebutkan pengecualiannya, penjualan tersebut sah.
Asy-Syafi’y
berkata: jika pengecualiannya secara tegas disebutkan dalam penjualan, maka
penjualannya sah. Jika pengecualiannya disebutkan secara samar, penjualan
tersebut tidak sah.
Sebagian ulama berkata: jika pengecualian
itu dilakukan dengan meminta jangka waktu tertentu (untuk menentukan mana yang
dikecualikan), penjualan seperti itu sah.
Dhahir
hadits ini, dengan jelas menerangkan bahwasannya setiap pengecualian yang
samar, membatalkan akan jual beli. Hikmahnya adalah untuk menghindari adanya
unsur penipuan dengan pengecualian secara samar itu.
6.
Larangan Tallaqi Rukban Dalam Jual
Beli
Larangan melakukan talaqqir rukban,
yaitu menjumpai (dengan membeli barang dagangan) milik orang yang datang dari
luar daerah yang membawa barang-barang dagangan, padahal mereka belum tiba di
daerah tersebut dan belum mengenal harga pasar, sehingga mereka dirugikan
karena barang dagangan mereka dibeli dengan harga yang rendah. Jika sudah
terjadi jual beli ini, maka dianggap sah namun penjual (orang yang datang dari
luar daerah) berhak khiyar (meneruskan atau membatalkan jual beli).[12]
َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَلَقَّوا
اَلْجَلَبَ، فَمَنْ تُلُقِّيَ فَاشْتُرِيَ مِنْهُ, فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ
اَلسُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
|
Artinya :
Dari Abu
Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda: “Janganlah menghadang barang dagangan dari luar kota. Barangsiapa di hadang,
kemudian sebagian barangnya dibeli, maka jika pemilik barang telah datang ke
pasar, ia boleh memilih (antara membatalkan atau tidak).” Riwayat Muslim.[13]
Ibnu Mas’ud r.a menerangkan: “Nabi
SAW, melarang kita menunggu barang dagangan diluar pasar.” (HR. Al-Bukhary
dan Muslim)
Jumhur
ulama mengatakan bahwa menunggu barang dagangan diluar pasar (dipinggir kota)
tidak boleh. Mereka ada yang mengharamkan perbuatan itu dan ada pula yang
memakruhkan.
Abu
hanifah membolehkan. Namun didalam kitab-kitab Hanafiah, perbuatan tersebut
dimakruhkan. Pendapat Abu Hanifah ini adalah menurut Ibnul Munzir. Tentang
kemakruhannya jika hal itu menimbulkan kemudaratan bagi penduduk kota serta
mengaburkan harga pasar kepada para pembeli.[14]
Sebagian
ulama Malikiah dan Hanbaliah, tidak mensahkan transaksi ini. Setiap larangan
memerlukan alasan tentang dasar hukumnya (bahwa yang dilarang adalah setiap
perbuatan yang tidak sah).
Para
ulama berselisih pula tentang hak membatalkan transaksi (hak khiyar). Menurut
paham hanbaliah, si penjual punya hak penuh untuk membatalkan, walaupun tidak
ada unsur penipuan dalam transaksi tersebut. Inilah yang dipandang lebih shahih
oleh golongan Syafi’iah. Menurut Malik, tidak sah jika menimbulkan kerugian
bagi pihak penjual, dan menguntungkan si pembeli. Ulama Kufah dan Al Auza’y,
condong kepada pendapat ini.
Sebagian
ulama mengatakan, bahwa yang haram adalah jika si penunggu barang sengaja
melakukannya. Jika dia hanya kebetulan lewat, dan berjumpa dengan pembawa
barang yang kemudian terjadi transaksi jual beli, tidak diharamkan.
Al Juwaini mengharamkan, jika
pembelian itu jauh lebih rendah dari harga pasar.
Menurut Al-Muntawalli diharamkan,
jika si pembeli memperoleh harga murah dengan jalan penipu, misalnya
menakut-nakuti dengan mengatakan bahwa dia akan memerlukan ongkos besar jika
menjualnya sendiri di pasar, ataupun mengatakan bahwa preman pasar akan
memungut retribusi di luar peraturan resmi.
7.
Haram Menjual Anaknya Binatang Yang
Masih Dalam Kandungan
Larangan bai'un
nataj, yaitu melakukan akad jual-beli terhadap hewan yang masih dalam
kandungan induknya.
وَعَنْهُ; ( أَنَّ رَسُولَ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ اَلْحَبَلَةِ, وَكَانَ
بَيْعاً يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ: كَانَ اَلرَّجُلُ يَبْتَاعُ
اَلْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ اَلنَّاقَةُ, ثُمَّ تُنْتَجُ اَلَّتِي فِي
بَطْنِهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
Artinya:
Abdullah
bin Umar R . a berkata: Rasulullah saw melarang menjual anaknya binatang yang
masih dalam kandungan. Yaitu penjualan yang berlaku di masa jahiliyah, seorang
membeli unta sehingga lahir yang di dalam kandungannya kemudian sampai beranak
binatang yang telah lahir itu. (Bukhari, Muslim)[15]
وَعَنْهُ قَالَ: ( نَهَى
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ, وَلَا
تَنَاجَشُوا, وَلَا يَبِيعُ اَلرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ, وَلَا يَخْطُبُ
عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ, وَلَا تُسْأَلُ اَلْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا
لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِمُسْلِمٍ: ( لَا
يَسُمِ اَلْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ اَلْمُسْلِمِ )
Dari
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
melarang jual-beli anak hewan dalam kandungan dan mani ternak jantan. Riwayat
al-Bazzar dengan sanad lemah[16]
8.
Larangan Memperdagangkan Benda
Najis, Maksiat, dan Tidak Bermanfaat (serta larangan atas harga kucing dan
anjing)
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ, وَهُوَ بِمَكَّةَ: ( إِنَّ اَللَّهَ
وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ, وَالْمَيْتَةِ, وَالْخِنْزِيرِ,
وَالْأَصْنَام فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَرَأَيْتَ شُحُومَ اَلْمَيْتَةِ,
فَإِنَّهُ تُطْلَى بِهَا اَلسُّفُنُ, وَتُدْهَنُ بِهَا اَلْجُلُودُ,
وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا اَلنَّاسُ? فَقَالَ: لَا هُوَ حَرَامٌ , ثُمَّ قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ ذَلِكَ: قَاتَلَ اَللَّهُ اَلْيَهُودَ, إِنَّ
اَللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ, ثُمَّ بَاعُوهُ,
فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Atha’ ibn Abi Rabbah menerangkan:
“Bahwasannya Jabir r.a. mendengar Nabi SAW, bersabda: Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi dan patung-patung
(berhala). Seorang berkata: Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang
lemak bangkai? Lemak itu biasanya digunakan untuk mencat perahu, untuk
menggosok kulit dan dijadikan penerang oleh manusia? Maka beliau menjawab:
Tidak boleh, itu haram. Kemudian beliau bersabda: Semoga orang-orang Yahudi itu
dikutuk Allah, sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemaknya, mereka sama
menghancurkannya, kemudian mereka menjualnya dan memakan uangnya.” (HR. Jama’ah)[17]
Yang
dimaksud dengan kalimat “bangkai” dalam hadits tersebut ialah binatang yang
sudah kehilangan nyawanya, namun tidak lewat penyembelihan yang diakui oleh
agama, kecuali bangkai ikan dan belalang.
Kalimat
“babi” ini merupakan dalil atas diharamkannya menjual binatang tersebut dengan
semua bagaian-bagiannya. Hal itu adalah berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para
ulama. Menurut madzhab Maliki yang mengatakan, bahwa ada kemurahan terhadap
rambut binatang tersebut yang tidak seberapa. Motiv diharamkannya menjual babi
dan juga menjual bangkai ialah adanya unsur najis, demikian menurut pendapat
jumhur ulama dan itu berlaku bagi setiap yang najis. Tetapi pendapat Imam Malik
yang masyhur mengatakan, bahwa babi itu suci.
Adapun
mengenai diharamkannya menjual patung-patung berhala ialah, karena benda
tersebut tidak adanya manfaat yang diperbolehkan. Jadi apabila benda tersebut
bisa dimanfaatkan sesudah dipecah atau dihancurkan, maka menurut sebagian ulama
hal itu boleh dijual. Namun mayoritas ulama tetap melarang atau mengharamkannya
وَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رضي
الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ ثَمَنِ
اَلْكَلْبِ, وَمَهْرِ الْبَغِيِّ, وَحُلْوَانِ اَلْكَاهِنِ ) مُتَّفَقٌ
عَلَيْه
Dari Abu
Mas'ud al-Anshory Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang mengambil uang penjualan anjing, uang pelacuran, dan upah
pertenungan. Muttafaq Alaihi.[18]
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ,
عَنْ أَبِيهِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (
مَنْ حَبَسَ اَلْعِنَبَ أَيَّامَ اَلْقِطَافِ, حَتَّى يَبِيعَهُ مِمَّنْ
يَتَّخِذُهُ خَمْراً, فَقَدَ تَقَحَّمَ اَلنَّارَ عَلَى بَصِيرَةٍ ) رَوَاهُ
اَلطَّبَرَانِيُّ فِي اَلْأَوْسَطِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Dari Abdullah Ibnu Buraidah, dari ayahnya bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa
membiarkan anggurnya pada musim panen untuk dijual kepada orang-orang yang
membuat minuman keras, maka sesungguhnya ia telah menempuh api neraka dengan
sengaja." Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath dengan sanad Hasan.[19]
Anas ibnu
Malik r.a berkata: “Rasulullah SAW telah mengutuk sepuluh perkara terhadap
arak: yang memerasnya, yang menyuruh memerasnya, yang meminumnya, yang
membawanya, yang dibawakan kepadanya, yang membeli minumannya, yang menjualnya,
yang makan harganya dan membelinya dan yang dibelikan untuknya.” (HR.
At-Turmudzy dan Ibnu Majah)
Al-Madju
Ibnu Taimiyah berdalil dengan hadits ini, bahwa menjual perasan anggur kepada
orang yang akan menjadikannya arak dan menjual sesuatu yang membantu perbuatan
maksiat, haram.
Perbuatan-perbuatan ini diharamkan jika memang kita
ketahui benar, bahwa apa yang kita jual itu untuk dijadikan arak. Jika tidak
diketahui bahwa yang kita jual akan dijadikan arak, maka sebagian ulama
membolehkan walaupun makruh.
وَعَنْهُ; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ اَلْوَلَاءِ, وَعَنْ هِبَتِهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual-belikan wala' dan
menghadiahkannya. Muttafaq Alaihi. [20]
وَعَنْ أَبِي
اَلزُّبَيْرِ قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ اَلسِّنَّوْرِ وَالْكَلْبِ?
فَقَالَ: ( زَجَرَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ ) رَوَاهُ
مُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَزَادَ: ( إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ )
Abu
al-Zubair berkata: Aku bertanya Jabir Radliyallaahu 'anhu tentang harga kucing
dan anjing. Ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang hal
itu. Riwayat Muslim dan Nasa'i dengan tambahan: Kecuali anjing pemburu[21]
9.
Larangan Menjual Air yang Lebih dari
Keperluan Sendiri
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( نَهَى اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم عَنْ بَيْعِ فَضْلِ اَلْمَاءِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَزَادَ فِي
رِوَايَةٍ: ( وَعَنْ بَيْعِ ضِرَابِ اَلْجَمَلِ )
Jabir
Ibnu Abdullah berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
menjual sisa kelebihan air. Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayat ia menambahkan:
Dan mengupahkan persetubuhan unta jantan[22]
Air laut, air sungai, dan semisalnya
adalah hak bersama manusia. Dalam hadits disebutkan, bahwa manusia berserikat
dalam hal tiga; dalam hal air, rumput, dan api (HR. Ahmad dan Abu Dawud, Shahihul
Jami' no: 6713) akan tetapi, apabila seseorang mengumpulkannya, atau
menggali sumur pada tanah miliknya, atau menyiapkan alat untuk menyedot air,
maka air itu menjadi miliknya, dan dalam keadaan seperti ini boleh baginya
menjual air itu meskipun lebih utama adalah memberikannya secara cuma-cuma.
Sama seperti ini adalah kayu bakar, jika seseorang mengumpulkannya, maka
kayu-kayu itu boleh ia jual.[23]
Iyas Ibn ‘Abad menerangkan:
“Bahwasannya Nabi SAW, melarang kita
menjual air yang lebih dari keperluan kita”. (HR. Ahmad dan Abu Daud, An-Nasa’I,
Ibnu Majah, At-Turmudzy)[24]
Menurut
Al Qusyairi, hadits iyas tersebut atas syarat Imam Al Bukhari dan Imam Muslim.
Hadits ini memberikan petunjuk diharamkannya menjual kelebihan air, yakni
kelebihan dari keperluan yang bersangkutan. Menurut lahiriahnya hadits, dalam
hal ini tidak ada bedanya apakah air yang berada di tanah hak milik, atau air
untuk minum maupun untuk keperluan lainny.
Menurut
Al Khithabi, secara lahiriyah yang terkandung dalam larangan hadits tersebut
ialah kelebihan air minum, itu yang lekas dipahami oleh orang.
An
Nawawi menceritakan pendapat beberapa orang sahabat Imam Syafi’i yang
mengatakan, bahwa wajib menyumbangkan air yang berada di tanah lapang dengan
beberapa syarat sebagai berikut:
v Tidak
ditemukannya sumber air yang lain buat memenuhi kebutuhan
v Sumbangan
air tersebut diperuntukkan buat hewan ternak
v Pemiliknya
sudah tidak memerlukan air.
Yang diperbolehkan menjual air,
apabila air yang sudah ditempatkan dalam bejana tertentu, kemudian air semacam
aqua dan lain-lain yang sudah di kemas. Air seperti itu boleh dijual[25]
10.
Larangan Menjual Barang Dengan Cara
Najasyi
وَعَنْهُ قَالَ:
( نَهَى صلى الله عليه وسلم عَنِ النَّجْشِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam melarang berjualan dengan najasy (memuji barang dagangan
secara berlebihan). Muttafaq Alaihi.[26]
Bersumber
dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Nabi SAW, melarang penduduk kota menjual
barang yang dititipkan padanya oleh penduduk desa, dan menjual dengan cara
najasyi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Menurut
istilah syara’, najasyi ialah tidakan seorang pedagang yang sengaja menyuruh
orang lain agar memuji barang dagangannya atau menawarnya dengan harga tawaran
yang cukup tinggi, dengan maksud agar orang lain tertarik ikut-ikutan
membelinya karena dia merasa harganya tidak mahal.
Imam
Syafi’i mengatakan: “Najasyi ialah seseorang menawar suatu barang padahal tidak
bermaksud membelinya. Melainkan dia hanya bermaksud agar orang lain ikut
menawarnya, kemudian orang lain itu membelinya dengan harga yang lebih tinggi
daripada harga yang semestinya.”
11.
Larangan Orang Kota Menjual Sesuatu Kepunyaan
Orang Desa
وَعَنْهُ قَالَ: ( نَهَى
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ, وَلَا
تَنَاجَشُوا, وَلَا يَبِيعُ اَلرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ, وَلَا يَخْطُبُ
عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ, وَلَا تُسْأَلُ اَلْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا
لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِمُسْلِمٍ: ( لَا
يَسُمِ اَلْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ اَلْمُسْلِمِ )
Ibnu Umar
r.a berkata: “Nabi SAW, melarang penduduk kota menjual sesuatu barang yang
dititipkan kepadanya oleh orang desa.” (HR. Al-Bukhary dan An-Nasai’i)
وَعَنْ طَاوُسٍ,
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم ( لَا تَلَقَّوْا اَلرُّكْبَانَ, وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ
لِبَادٍ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: مَا قَوْلُهُ: وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ
لِبَادٍ? قَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
Dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah
engkau menghadang kafilah di tengah perjalanan (untuk membeli barang
dagangannya), dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa." Aku
bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa maksud sabda beliau "Janganlah orang kita
menjual kepada orang desa?". Ibnu Abbas menjawab: Janganlah menjadi
makelar (perantara). Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari. [27]
Hadits
ini menunjukkan tidak dibolehkannya orang kota menjual barang orang desa, tanpa
ada perbedaan antara orang-orang yang berkerabat ataupun bukan, baik dimasa
mahal ataupun dimasa murah. Baik barang yang diperlukan oleh penduduk kota
ataupun tidak, baik dijual secara diangsur atau tunai.
Golongan
hanafiyah berpendapat, bahwasannya larangan ini khusus di zaman mahal dan
khusus pula dengan barang-barang yang dibutuhkan penduduk kota.
Menurut Syafi’iah dan Hambalilah,
bahwa yang dilarang itu, ialah seorang penduduk desa datang ke kota membawa
barang dengan maksud penjualannya dengan harga hari itu. Seorang penduduk kota
(pasar) mengatakan: “letakanlah barang ini padaku, akan kujual berangsur-angsur
dengan harga yang lebih mahal dari harga hari ini.” Dan dikaitkan dengan orang
desa, ialah mereka yang tidak mengetahui harga pasar.
12.
Larangan Menjual Atas Penjualan
Orang Lain, Menawar Atas Tawaran Orang Lain, Terkecuali Penjualan Secara Lelang
Ibnu Umar r.a menerangkan: “Janganlah
kamu menjual atas penjualan saudaranya, dan jangan meminang atas pinangan
saudaranya, terkecuali kalau sudah ada izin.” (HR. Ahmad)
Menawarkan
barang atas penawaran orang lain, adalah bila seseorang mengatakan kepada si
pembeli: Kembalikan barang tersebut, anda dapat membeli dari saya dengan harga
yang lebih murah, atau akan mendapatkan barang dengan kualitas yang lebih baik.
Atau bisa juga: Minta kembali barang tersebut, saya akan membelinya dengan
harga yang lebih tinggi. Kedua macam jenis transaksi di atas haram, jika antara
para pihak sebelumnya telah terjadi kesepakatan harga.[28]
13. Larangan Menerima Bayaran Untuk Hewan Pejantan
Ibnu Umar r.a menerangkan:
“Nabi SAW melarang kita menerima
harga mani (sperma) hewan pejantan (landuk)”. (HR. Ahmad, Al-Bukhary, An Nasa’I)
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ
عَسْبِ اَلْفَحْلِ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata:
Rasulullah S[29]hallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
mengupahkan persetubuhan binatang jantan. Riwayat Bukhari.
Hadits
ini mengemukakan, bahwa sesungguhnya menjual air (mani) pejantan dan juga
menyewakannya itu hukumnya haram, soalnya ia tidak bisa dinilai, tidak bisa
diketahui dan tidak kuasa untuk diserahkan. Itulah pendapat jumhur dan juga
pendapat ulama-ulama dari kalangan madzha Syafi’i dan madzhab Hambali.
Sedangkan Al Hasan dan Ibnu Sirin yang mengutip pendapat Imam Malik mengatakan,
bahwa sesungguhnya boleh menyewakan pejantan untuk bersetubuh dalam jangka
waktu tertentu.
14.
Jual Beli Tanpa Menghadirkan Saksi
وَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( إِذَا اِخْتَلَفَ
اَلْمُتَبَايِعَانِ لَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ, فَالْقَوْلُ مَا يَقُولُ رَبُّ
اَلسِّلْعَةِ أَوْ يَتَتَارَكَانِ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ
اَلْحَاكِمُ
Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu
berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Apabila dua orang yang berjual beli berselisih, sedang di antara mereka
tidak ada keterangan yang jelas, maka perkataan yang benar ialah apa yang
dikatakan oleh pemilik barang atau mereka membatalkan transaksi." Riwayat
Imam Lima. Hadits shahih menurut Hakim. [30]
Syihab
Az-Zuhry mengatakan: “Bahwa pamannya menceritakan kepada Amrah (pamannya
tersebut adalah sahabat Nabi), bahwa Nabi telah membeli seekor kuda dari Arab
Badui (penghuni gurun), Nabi menemuinya untuk membayar harga kuda. Nabi
berjalan cepat sedang sang Badui berjalan lambat. Beberapa orang mencegat orang
Badui dan menawar kudanya. Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi telah membelinya.
Karena itu sang badui memanggil Nabi dan berkata: Jika anda jadi membeli kuda
ini, bayarlah, jika tidak aku akan menjualnya kepada orang lain. Kala mendengar
ucapan badui tersebut, Nabi mengatakan: Bukankah kuda ini sudah saya beli?
Badui menjawab: tidak. Demi Allah saya tidak menjualnya kepada anda. Nabi
berkata: aku benar-benar telah membelinya. Sang Badui menjawab: Ajukanlah
saksi. Khuzaimah berkata: Sayalah sakinya, bahwa engkau telah menjualnya kepada
Rasulullah. Mendengar itu Nabi mengatakan kepada Khuzaimah: dengan cara apa
engkau menjadi saksi? Khuzaimah menjawab: karena aku membenarkan anda, ya
Rasulullah. Nabi menjadikan kesaksian Khuzaimah sebagai saksi yang dilakukan
oleh dua orang.” (HR. Ahmad, An-Nasa’I, dan Abu Daud)
Yang
dimaksud saksi ialah seperti yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an: “Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli.” Namun perintah tersebut tidak
berkonotasi wajib, melainkan sunnah.
Ada yang
berpendapat, bahwa atay tersebut sudah dinaskh (dibatalkan) oleh firman Allah
ta’ala: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagia yang lain.” Ada
pula yang berpendapat, bahwa ayat tersebut tetap berlaku dan tidak dinaskh.
Asy-Syafi’y
berkata: jika kehadiran saksi diperlukan pada saat transaksi jual beli tentulah
Rasulullah tidak akan membeli sesuatu dari seseorang tanpa ada saksi.
Karenanya, perintah Allah agar setiap perbuatan harus disaksikan oleh orang
ketiga, merupakan perintah sunat. Dengan perbuatan Nabi diatas, maka hukum
wajib sudah dipalingkan menjadi hukum sunat.
Kata
Ath-Thabarany, tidak halal bagi seseorang Muslim mengadakan transaksi jual
beli, tanpa ada saksi, karena menyalahi kitabullah.
Namun menurut Ibnu Araby, seluruh
ulama sepakat bahwa kehadiran saksi bersifat sunat.[31]
15.
Larangan Menjual Barang Sebelum
Ditimbang Kembali
وَعَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنِ اِشْتَرَى طَعَاماً فَلَا يَبِعْهُ
حَتَّى يَكْتَالَهُ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Jabir ibnu Abdullah berkata: “Nabi
SAW, melarang kita menjual makanan sebelum disukat (ditimbang) dua kali.
Sukatan penjual dan sukatan pembeli.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni)[32]
Jumhur
ulama berpendapat bahwa apabila seseorang membeli makanan dan telah disukat, kemudian
barang tersebut akan dijual kepada orang lain, maka hendaklah barang tersebut
disukatnya kembali, tidak boleh dicukupkan dengan sukatan pertama.
16.
Larangan Penjualan Secara ‘Arbun
وَعَنْهُ قَالَ: ( نَهَى
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ اَلْعُرْبَانِ ) رَوَاهُ
مَالِكٌ, قَالَ: بَلَغَنِي عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, بِهِ
Amar
ibnu Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Nabi SAW, melarang
penjualan dengan lebih dahulu memberikan uang muka dan uang itu hilang, kalau
pembelian tidak diteruskan. (HR. Ahmad, An-Nasa’I, dan Abu Daud)[33]
Penjualan yang menyertai ‘arbun,
ialah seseorang pembeli atau penyewa mengatakan: “Saya berikan lebih dahulu
uang muka kepada anda. Jika pembelian ini tidak jadi saya teruskan, maka uang
muka itu hilang, dan menjadi milik anda. Jika barang itu jadi dibeli maka uang
muka itu.
17. Dua Bentuk Penjualan Dalam Satu
Penjualan
وَعَنْهُ قَالَ:
( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ
حِبَّانَ وَلِأَبِي دَاوُدَ: ( مَنْ
بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوَكَسُهُمَا, أَوْ اَلرِّبَا )
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata:
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang dua jual-beli dalam satu
transaksi jual-beli. Riwayat Ahmad dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Tirmidzi.
Menurut riwayat Abu Dawud: Barangsiapa melakukan
dua jual-beli dalam satu transaksi, maka baginya harga yang murah atau ia
termasuk riba'[34]
Abu Hurairah r.a berkata: “Barang
siapa menjual dua penjualan dalam satu penjualan maka baginya pembayaran yang
kurang atau riba.” (HR. Abu Daud)
Imam Asy-Syfi’I mencontohkan
penjualan ini sebagai berikut:
Si penjual
menawarkan kepada pembeli, dengan harga Rp. 1.000,- tunai, ataupun menjadi Rp.
2.000,- jika secara berhutang. Terserah kepada si pembeli untuk memilih.
Kemudian
ada yang menafsirkan begini, si penjual menawarkan seorang budak dengan harga
tertentu, dengan syarat si pembeli menjual rumahnya kepadanya. Bila syarat ini
diterima, maka transaksi berlangsung.
diperhitungkan dari harga yang belum
dibayar.
Menurut
Atha’, boleh dijual dengan sukatan pertama, jika dijual dengan harga tunai.
Namun jika dijual secara hutang, harus disukat kembali.
Dhahir
hadits ini menguatkan mazhab jumhur, yakni tidak ada perbedaan antara penjualan
tunai dengan penjualan hutang. Dan hal ini tidak berlaku mengenai barang
makanan yang dibeli secara bertumpuk.
18.
Larangan Jual Beli Dimana Barang dan
Pembayarannya Adalah Secara Tidak Tunai
وَعَنْ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ,
عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ, وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ
يُضْمَنْ, وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ,
وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَالْحَاكِمُ.
Dari Amar
Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak dihalalkan meminjam dan
menjual, dua syarat dalam satu transaksi jual-beli, keuntungan yang belum dapat
dijamin, dan menjual sesuatu yang tidak engkau miliki." Riwayat Imam Lima.
Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim.[35]
Bersumber
dari Ibnu Umar r.a: “Sesungguhnya Nabi SAW melarang menjual (barang yang
belum ada) dengan pembayaran yang tidak tunai.” (HR. Imam Daruquthni)
Kalimat
“menjual (barang yang belum ada) dengan pembayaran yang tidak tunai” ini, kalau
dalam riwayat yang diketengahkan oleh Imam hakim dari Abu Al Walid Hassan
berbunyi “menjual sesuatu yang tidak kontan dengan cara pembayaran yang tidak
kontan pula”. Demikianlah yang dikutip oleh Abu Ubaidah dan Imam Daruquthni
dari ahli bahasa. Sedangkan kalimat yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari
Nafi’ berbunyi: “menjual hutang dengan hutang.”
Yang
terang, hadits tersebut menunjukkan ketidak bolehan menjual barang secara
pinjaman dengan pembayaran secara pinjaman pula. Hal itu adalah berdasarkan
kesepakatan para ulama (ijma’), sebagaimana yang diceritakan oleh Imam Ahmad
bin Hanbal. Sama dengan hal tersebut adalah akad jual beli barang yang belum
ada dengan pembayaran yang tidak tunai.[36]
19.
Larangan Menjual Barang yang Belum
Dimiliki / Belum Jelas
وَعَنِ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه ( أَنَّ
اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ شِرَاءِ مَا فِي بُطُونِ اَلْأَنْعَامِ
حَتَّى تَضَعَ, وَعَنْ بَيْعِ مَا فِي ضُرُوعِهَا, وَعَنْ شِرَاءِ اَلْعَبْدِ
وَهُوَ آبِقٌ, وَعَنْ شِرَاءِ اَلْمَغَانِمِ حَتَّى تُقْسَمَ, وَعَنْ شِرَاءِ
اَلصَّدَقَاتِ حَتَّى تُقْبَضَ, وَعَنْ ضَرْبَةِ اَلْغَائِصِ ) رَوَاهُ
اِبْنُ مَاجَهْ, وَالْبَزَّارُ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيف
Dari
Abu Said al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang melakukan jual-beli anak yang masih berada dalam kandungan
hewan sebelum dilahirkan, susu yang masih berada dalam teteknya, seorang hamba
yang melarikan diri, harta rampasan yang belum dibagi, zakat yang belum
diterima, da n hasil seorang penyelam. Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar.
Daruquthni juga meriwayatkan dengan sanad lemah.[37]
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-
قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ تُبَاعَ ثَمَرَةٌ حَتَّى
تُطْعَمَ, وَلَا يُبَاعَ صُوفٌ عَلَى ظَهْرٍ, وَلَا لَبَنٌ فِي ضَرْعٍ )
رَوَاهُ اَلطَّبَرَانِيُّ فِي اَلْأَوْسَطِ وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ وَأَخْرَجَهُ أَبُو
دَاوُدَ فِي اَلْمَرَاسِيلِ لِعِكْرِمَةَ, وَهُوَ اَلرَّاجِحُ. وَأَخْرَجَهُ
أَيْضاً مَوْقُوفاً عَلَى اِبْنِ عَبَّاسٍ بِإِسْنَادٍ قَوِيٍّ, وَرَجَّحَهُ
اَلْبَيْهَقِيُّ
Ibnu Abbas
Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
menjual buah-buahan hingga masak, bulu yang masih melekat di punggung (hewan
hidup), dan susu dalam tetek. Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath. dan
Daruquthni. Abu Dawud meriwayatkan dalam hadits-hadits mursal ikrimah, ia juga
meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad kuat yang diperkuat
oleh Baihaqi. [38]
Hakim ibn Hizam r.a berkata: “Saya
berkata: Ya Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku, meminta aku menjual
barang yang belum ada padaku. Kemudian baru aku membelinya di pasar. Nabi SAW
bersabda: “Jangan engkau jual apa yang tidak ada pada engkau.” (HR. Ahmad,
Abu Daud, An-Nasa’I, At-Turmudzy, dan Ibnu Majah)
Hadits
ini masuk kedalam makna: menjual benda yang belum ada pada kita, ialah menjual
burung yang terlepas dari sangkar, yang lazimnya tidak kembali kesangkarnya.
Jika dia biasa kembali pada malam hari, maka menurut jumhur ulama tidak sah
juga, terkecuali lebah yang di pandang boleh oleh An-Nawawi.
20.
Larangan
mengadakan dua syarat dalam jual beli.
Contoh: Seseorang penjual mensyaratkan kepada
pembeli agar tidak menjual barangnya dan tidak menghibahkannya.
وَأَخْرَجَهُ فِي
عُلُومِ اَلْحَدِيثِ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي حَنِيفَةَ, عَنْ عَمْرٍو اَلْمَذْكُورِ
بِلَفْظِ: نَهَى عَنْ بَيْعٍ وَشَرْطٍ وَمِنْ هَذَا اَلْوَجْهِ أَخْرَجَهُ
اَلطَّبَرَانِيُّ فِي اَلْأَوْسَطِ وَهُوَ غَرِيبٌ
Hadits tersebut juga dikeluarkan dari
kitab Ulumul Hadits riwayat Abu Hanifah dari 'Amr dengan lafaz:
"Rasulallah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melarang berjual-beli dengan
syarat." Dari jalur ini Thabrani meriwayatkan hadts ini dalam kitab al-Ausath
dan ia termasuk hadits gharib.[39]
21. Larangan menimbun barang ketika orang-orang sedang
membutuhkan.
وَعَنْ مَعْمَرِ
بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
( لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ma'mar
Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Tidak akan menimbun (barang) kecuali orang yang
berdosa." Riwayat Muslim. [40]
22.
Larangan
Menjual Barang di Tempat Kita Membeli
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( اِبْتَعْتُ زَيْتاً فِي اَلسُّوقِ, فَلَمَّا
اِسْتَوْجَبْتُهُ لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحاً حَسَناً، فَأَرَدْتُ
أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِ اَلرَّجُلِ، فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي،
فَالْتَفَتُّ, فَإِذَا هُوَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ, فَقَالَ: لَا تَبِعْهُ حَيْثُ
اِبْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ; فَإِنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم نَهَى أَنْ تُبَاعَ اَلسِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ, حَتَّى يَحُوزَهَا
اَلتُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ
وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
Ibnu Umar
Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku pernah membeli minyak di pasar dan ketika
minyak itu telah menjadi hak milikku aku bertemu dengan seseorang yang akan
membelinya dengan keuntungan yang baik. Ketika aku hendak mengiyakan tawaran
orang tersebut, ada seseorang dari belakang yang memegang lenganku. Aku
berpaling dan ternyata ia adalah Zaid Ibnu Tsabit. Lalu ia berkata: Jangan
menjualnya di tempat engkau membeli, sampai engkau membawanya ke tempatmu,
sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual barang di
tempat barang itu dibeli sampai para pedagang membawanya ke tempat mereka.
Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadz menurutnya. Hadits shahih menurut
Ibnu Hibban dan Hakim. [41]
Selain
dari itu nabi juga melarang umatnya untuk:
Mengurangi
takaran dan timbangan.
Mengambil ribh maa lam yadhman (keuntungan yang
muncul dari barang yang bukan miliknya). Ini termasuk ghasb.
Larangan melariskan dagangan dengan
sumpah palsu.
Larangan melimpah-ruahkan harta dan
menyebarkannya ke beberapa tempat yang biasanya membuat seseorang sibuk dan
lalai dari mengingat Allah Azza wa Jalla.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penjelasan diatas sangatlah jelas
mengenai larangan-larangan dalam jual beli, banyak hadits-hadits yang memuat
penjelasan tentang larangan dalam jual beli. Setiap apa yang dilarang oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya tentunya membawa kemaslahatan bagi kehidupan di dunia
dan kelak nanti di akhirat, karena di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 7
sudah jelas di sebutkan, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah,
dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah, sungguh Allah sangat keras hukumannya.”
Hikmah dan anjuran jual bli
Adapun hikmah dibolehkannya
jual-beli itu adalah menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah
dengan hartanya. Seseorang memiliki harta di tangannya, namun dia tidak
memerlukannya. Sebaliknya dia memerlukan suatu bentuk harta, namun harta yang
diperlukannya itu ada ditangan orang lain. Kalau seandainya orang lain yang
memiliki harta yang diingininya itu juga memerlukan harta yang ada di tangannya
yang tidak diperlukannya itu, maka dapat berlaku usaha tukar menukar yang dalam
istilah bahasa Arab disebut jual beli.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Mardani.
2011. Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah. Jakarta: Rajawali Press.
Ø Mashur
khar. 1992. bulughul maram buku pertama. jakarta:PT rineka cipta.
Ø Syarifuddin
amir.2003. Garis Garis Besar Fiqh. jakarta: kencana.
Ø Adiwarman
Karim.2008. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ø Ibnu
Hajar al-Asqolani.2002 Op.cit.Jakarta:Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Ø Ensiklopedi
Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka
Imam Syafi’i.2006
Ø Yusuf
Qaradhawi.2007. Halal dan haram .Bandung: Jabal.
Ø Abu Syuja’ Ahmad Bin Husein.2004. Matan ghayan wa taqrib. Surabaya:
Al-Miftah
Ø Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar
Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994)
Ø http://abuzubair.wordpress.com/2007/08/10/jual-beli-yang-dilarang-dalam-islam/
[1] Adib Bisri Musthafa, Nailul
Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 455-456.
[2] Imam Ibnu Hajar
Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 601
[3] Syekh Abu Syuja, Ahmad bin Husain, Matnul Ghayah Wat Taqrib hal. 67
[4] http://abuzubair.wordpress.com/2007/08/10/jual-beli-yang-dilarang-dalam-islam/
[5] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 625
[6] Mardani, Ayat-ayat dan Hadis
Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 120
[7] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 636
[8] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 641
[9] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 616
[10] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 626
[11] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 625
[12] http://wawasankeislaman.blogspot.com/2012/12/beberapa-larangan-dalam-jual-beli.html
[13] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 628
[14] http://abuzubair.wordpress.com/2007/08/10/jual-beli-yang-dilarang-dalam-islam/
[15] Imam Ibnu Hajar
Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 614
[16] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 642
[17] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 601
[18]Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 603
[19] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 637
[20] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 615
[21] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 608
[22] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 612
[23] http://wawasankeislaman.blogspot.com/2012/12/beberapa-larangan-dalam-jual-beli.html
[24] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits
[25] Adib Bisri Musthafa, Nailul
Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 462
[26] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 624
[27] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 627
[28] http://abuzubair.wordpress.com/2007/08/10/jual-beli-yang-dilarang-dalam-islam/
[29] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 613
[30] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 602
[31] Adib Bisri Musthafa, Nailul
Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 521.
[32] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 617
[33] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 621
[34] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 618
[35] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 619
[36] Adib
Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994),
hlm. 489.
[37] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 640
[38] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 642
[39] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 620
[40] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 633
[41] Imam Ibnu Hajar Al-Aqshalany, Bulughul Maram,Jual beli, hadits 622
.terima kasih sudah membantu :)
ReplyDeleteassalamualaikum
DeleteVITAN RADEI BUCKET (TINYL) - Titanium Prices 2021
ReplyDeleteVITAN RADEI titanium damascus BUCKET (TINYL) - Manufacturer: Titanium titanium chloride Goods, man titanium bracelet Inc. Type of winnerwell titanium stove Grown Product: Plastic, Steel, Glass, Paper, Rating: 4.4 · 5,488 citizen super titanium armor reviews · $3.99 · In stock