Link Collider - Best SEO Booster

Tuesday, May 27, 2014

HIBAH

BAB II
HIBAH
A. Arti
Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa Indonesia, kata ini merupakan mashdar dari kata وَﻤَﺐَ yang berarti pemberian.[3] Sedangkan pengertian hibah secara terminologi adalah :
ﺘﻂﻮﻋﺎ  ﺍﻜﻴﺎﺓ ﺤﺎﻠ ﺒﻼﻋﻮﺾ ﺍﻠﺘﻣﻠﻴﻚ ﻴﻔﻴﺪ ﻋﻗﺪ
“ Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.”

B. Rukun Hibah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul sebab keduannya termasuk akad seperti halnya jual-beli. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat :
1.Wahib (pemberi)
2.Mauhud lah (penerima)
3.Mauhud (barang yang dihibahkan)
4.Ijab dan qabul 

C. Syarat Hibah
Syarat hibah menurut ulama Hanabilah ada 11 :
1.Hibah dari harta yang boleh di tasharrufkan
2.Terpilih dan sungguh-sungguh
3.Harta yang diperjualbelikan
4.Tanpa adanya pengganti
5.Orang yang sah memilikinya
6.Sah menerimanya
7.Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu
8.Menyempurnakan pemberian
9.Tidak disertai syarat waktu
10.Pemberi sudah dipandang mampu tasharruf (merdeka, dan mukallaf)
11.Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan[4]


Ulama berselisih pendapat, apakah penerimaan itu menjadi syarat sahnya akad atau tidak?
Ats-Tsauri, Syafi’i, dan Abu Hanifah sependapat bahwa penerimaan itu termasuk syarat sahnya hibah. Apabila barang tidak diterima, maka pemberi hibah tidak terikat. Menurut Malik, hibah menjadi sah dengan adanya penerimaan dan calon penerima hibah boleh dipaksa untuk menerima seperti jaul beli. Apabila penerima hibah memperlambat tuntutan untuk menerima hibah sampai pemberi hibah itu mengalami pailit atau menderita sakit, maka hibah tersebut batal. Sedangkan menurut Ahmad dan Abu Tsaur, hibah menjadi sah dengan terjadinya akad sedangkan penerimaan tidak menjadi syarat sama sekali.

D. Macam-macam Hibah
1.Hibah barang
2.Hibah manfaat
Di antara hibah manfaat adalah hibah muajjalah (hibah bertempo), ‘ariyyah (pinjaman), dan minhah (pemberian). Ada pula hibah yang disyaratkan masanya selama orang yang diberi hibah masih hidup dan disebut hibah umri (hibah seumur hidup), seperti jika seseorang memberikan tempat tinggal kepada orang lain sepanjang hidupnya. Hibah seperti ini diperselisihkan oleh para ulama dalam tiga pendapat :
Pertama, bahwa hibah tersebut merupakan hibah yang terputus sama sekali. Yakni bahwa hibah tersebut adalah hibah terhadap pokok barangnya (ar-raqabah), pendapat ini dikemukakan oleh Syafi’i, Abu Hanifah, ats-Tsauri, Ahmad, dan sekelompok fuqaha lainnya.
Kedua, bahwa orang yang diberi hibah itu hanya memperoleh manfaatnya saja. Apabila orang tersebut meninggal dunia, maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan para pengikutnya, apabila dalam aqad tersebut disebutkan keturunan sedangkan keturunannya sudah tidak ada maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya.
Ketiga, bahwa apabila pemberi hibah berkata “barang ini, selama umurku masih ada, untukmu dan keturunanmu”, maka barang tersebut menjadi milik orang yang diberi hibah. Jika dalam akad tersebut tidak disebut-sebut soal keturunan, maka sesudah meninggalnya orang yang diberi hibah, barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud dan Abu Tsaur.
Silang pendapat ini berpangkal pada adanya beberapa hadis yang berbeda dan pertentangan antara syarat dengan amal yang berlaku dalam hadis. Dalam hal ini, ada dua hal :
Pertama, hadis yang disepakati kesahihannya yang diriwayatkan oleh Malik dari Jabir r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda :
ﺃﺒﺪﺍ ﺃﻋﻂﺎﻫﺎ ﺍﻠﺬﻱ ﺇﻠﻰ ﺠﻊ ﻻ ﻴﻌﻂﺎﻫﺎ ﻠﻠﺬﻱ ﻓﺈﻨﻬﺎﻭﻠﻌﻘﺒﻪ ﻠﻪ ﻋﻣﺮﻯ ﺃﻋﻣﺮ ﺮﺠﻞ ﺃﻴﻣﺎ
“ Siapa saja yang memberikan hibah seumur hidup kepada orang lain dan keturunannya, maka hibah tersebut menjadi milik orang yang diberinya itu, tidak kembali kepada orang yang memberi selamanya.” (HR. Muslim dan Nasai)
Ketentuan tegas ini karena orang tersebut memberi suatu pemberian kepada seseorang sekaligus kepada ahli warisnya.
Kedua, hadis Abu Zubair dari Jabir r.a. ia berkata :
“ Rasulullah Saw bersabda, “ Wahai golongan Anshar, tahanlah untukmu hartamu, jangan kalian berikan seumur hidup. Barangsiapa memberikan suatu pemberian sesuatu hidupnya, maka sesuatu itu untuk orang yang diberi selama hidup (orang yang diberi) dan sesudah matinya.” (HR. Ahmad dan Nasai)
Dalam hal ini, hadis riwayat Abu Zubair dari Jabir r.a. bertentangan dengan persyaratan orang yang memberikan hibah seumur hidup. Dan hadis Malik dari Jabir r.a. juga bertentangan dengan syarat orang yang memberikan hibah seumur hidup. Hanya saja, dalam hadis Malik terkesan pertentangan itu lebih sedikit. Sebab, penyebutan keturunan (al-‘aqid) mengesankan putusnya hibah, yakni tidak bisa kembali kepada pemberi hibah.
Oleh karena itu, bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadis Nabi atas syarat, akan memberlakukan hadis Abu Zubair dari Jabir r.a. sebaliknya, bagi fuqaha yang lebih menguatkan syarat atas hadis Nabi akan memakai pendapat Malik. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa hibah seumur hidup itu kembali kepada pemberinya manakala ia tidak menyebutkan keturunan, dan jika menyebut keturunan hibah itu tidak kembali.[5]




E. Hukum Hibah
a.Hukum Hibah
Dasar dan ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhublah (pene rima hibah) tanpa adanya pengganti.
b.Sifat Hukum Hibah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan demkian, dapat dibatalkan oleh pemberi sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah :
“ Pemberi hibah lebih berhak atas barang yang dihibahkan selama tidak ada pengganti.” (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni)
Dengan demikian, dibolehkan mengembalikan barang yang telah dihibahkan. Akan tetapi, dihukumi makruh sebab perbuatan itu termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hibah harus ridha. Hal itu diibaratkan adanya cacat dalam jual beli setelah barang dipegang pembeli.
Ulama hanafiyah berpendapat ada 6 perkara yang melarang wahib mengembalikan barang yang telah dihibahkan, yaitu :

1. Penerima membrikan ganti ;
a.pemberi yang disyaratkan dalam akad. Ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi’iyah menganggap hibah seperti ini sebagai jual beli dan bukan hibah.
b.pengganti yang diakhirkan.

2. Penerima maknawi ;
a.pahala dari Allah, sedekah kepada orang fakir tidak boleh diambil lagi.
b.pemberian dalam rangka silaturahmi.
c.pemberian dalam hubungan suami istri.

3. Tambahan yang ada pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan mauhublah (orang yang diberi hibah)

4. Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti dijual kepada orang lain.

5. Salah seorang yang akad meninggal.

6. Barang yang dihibahkan rusak.

Ulama Mlikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang tidak boleh dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil. Jika belum bercampur dengan hak orang lain, seperti nikah atau anak tersebut tidak memiliki utang.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapt bahwa hibah tidak dapat dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah Saw bersabda :
“Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya.”[6]


E. Masalah Hibah
1.Pendapat ulama tentang pencabutan hibah
Menurut fuqaha mencabut kembali hibah (al-i’tishar) itu boleh, Malik dan Jumhur ulama Madinah berpendapat bahwa ayah boleh mencabut kembali pemberian yang dihibahkan kepada anaknya selama anak itu belum kawin atau belum membuat utang. Begitu pula seorang ibu boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkannya, apabila ayah masih hidup. Tetapi ada riwayat dari Malik bahwa ibu tidak boleh mencabut hibahnya kembali.
Ahmad dan fuqaha zhahiri berpendapat bahwaseseorang tidak boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkannya. Dalam pada itu, Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkan kepada perempuan (dzawil arham) yang tidak boleh dikawini (mahram). Fuqaha sependapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali hibahnya yang dimaksudkan sebagai sedekah ,yakni untuk memperolah keridaan Allah.
Silang pendapat ini berpangkal pada adanya pertentangan antara beberapa hadis. fuqaha yang melarang secara mutlak pencabutan kembali hibah beralasan dengan pengertian umum hadis sahih, yaitu sabda Nabi :
“Orang yang mencabut kembali hibahnya tak ubahnya seekor anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sementara fuqaha yang mengecualikan larangan tersebut bagi kedua orang tua beralasan terhadap sabda Nabi :
“Tidak halal bagi orang yang memberi hibah untuk mencabut kembali hibahnya kecuali ayah.” (HR. Bukhari dan Nasai)

2.Pendapat para ulama tentang penghibahan barang milik bersama
Fuqaha berselisih pendapat tentang kebolehan menghibahkan barang milik bersama yang tidak bisa dibagi. Menurut Malik, Syafi’I, Ahmad, dan Abu Tsaur bahwa hibah seperti ini sah, sedang menurut Abu Hanifah tidak sah. Fuqaha yang berpegangan bahwa penerimaan hak milik bersama itu sah seperti penerimaan jual beli, sementara Abu Hanifah berpegangan bahwa penerimaan hibah itu tidak sah kecuali secara terpisah dan tersendiri seperti halnya gadai.

3.Pendapat para ulama tentang penghibahan barang yang tidak (belum) ada
Menurut mazhab Malik bahwa menghibahkan barang yang tidak jelas (majhul) dan barang yang tidak (belum) ada (ma’dum), tetapi dapat diperkirakan akan ada itu boleh. Menurut Syafi’I, setiap barang yang boleh dijual boleh pula dihibahkan seperti piutang. Dan setiap barang yang tidak boleh dijual tidak boleh dihibahkan, juga setiap barang yang tidak sah diterima tidak sah pula dihibahkan seperti piutang dan gadai.[7]













DAFTAR PUSTAKA
Ø Rusyd, Ibnu, 2007, Bidayatul Mujtahid,Jakarta : Putaka Amani, jilid. 3
Ø Syafe’i, Rachmat, 2006, Fiqh Muamalah,Bandung : Pustaka Setia, cet. 3
Ø Karim, Helmi, 1997, Fiqh Muamalah,Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, edisi 1, cet. 2

________________________________________
[1] Helmi Karim, 1997, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, edisi 1, cet. 2, hal. 96
[2] Ibnu Rusyd, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Putaka Amani, jilid. 3, hal. 374-375
[3] Helmi Karim, 1997, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, edisi 1, cet. 2, hal. 73
[4] Rachmat Syafe’i, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, cet. 3, hal. 242-246
[5] Ibnu Rusyd, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Putaka Amani, jilid. 3, hal. 351-358
[6] Rachmat Syafe’i, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, cet. 3, hal. 247-249
[7] Ibnu Rusyd, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Putaka Amani, jilid. 3, hal. 350-361

No comments:

Post a Comment